Kamis, 25 Juni 2015

[Resensi: Love at School by Guntur Alam dkk] Merasakan Cinta di Sekolah


Judul buku : Love at School
Kategori : Kumpulan Cerita Pendek
Penulis : Guntur Alam, Anggun Prameswari, Faisal Odang, dkk
Editor : Pradita Seti Rahayu
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun terbit : 28 Januari 2015
Tebal buku : 181 halaman
ISBN : 978-602-02-5692-4




BLURB

"Ia selalu ada … rasakan kehadirannya."

Pernahkah kamu bertanya, mengapa senyuman yang selalu dia perlihatkan ketika melintasi kelasmu setiap pagi membuat jantungmu memompa darah lebih cepat?

Pernahkah kamu bertanya, mengapa obrolan tak serius di perpustakaan dengan dia bisa menjadi pemicu mimpi indahmu di malam hari?

Atau, mengapa cemburu yang muncul setelah melihat dia berjalan ke kantin dengan yang lain membuat harimu terasa berantakan di sekolah?

Jangan menduga-duga jawaban. Mungkin itu cinta.

Sama seperti enam belas kisah yang ditulis oleh Guntur Alam, Anggun Prameswari, Faisal Oddang, Pretty Angelia, Ria Destriana, Fakhrisina Amalia Rovieq, Afgian Muntaha, Pipit Indah Mentari, Mel Puspita, Fitriyah, Karina Indah Pertiwi, Afin Yulia, Ruth Ismayati Munthe, juga Dilbar Dilara.

Mereka merasakan kehadirannya. Tak pernah absen.

Cinta itu selalu ada … di sekolah.



RESENSI

Love at School merupakan kumpulan cerita remaja tentang kisah-kisah cinta berlatar sekolah. Cerpen-cerpen ini merupakan hasil dari event yang digagas Guntur Alam melalui akun twitter-nya.

Ada 16 judul cerita pendek yang manis-asam-pahit di dalam buku Love at School ini, yaitu:

* Katanya sih Ini Cinta karya Dilbar Dilara
* Cinta Sulit si Jangkung karya Afin Yulia
* Waktu Hujan Reda karya Ria Destriana
* Puzzle karya Fakhrisina Amalia Rovieq
* Jam Tangan untuk Nanda karya Agfian Muntaha
* Unnamed Love karya Pipit Indah Mentari
* Detention karya Mel Puspita
* Jangan Pernah Salahkan Waktu karya Fitriyah
* Love Code karya Karina Indah Pertiwi
* Hanya dengan Foto karya Pretty Angelia
* Library We Meet karya Ruth Ismayati Munthe
* Dongeng Bunga Matahari karya Anggun Prameswari
* Pangeran Cinta di Bus Kota karya Guntur Alam
* Warna Keberuntungan Maura karya Guntur Alam
* Cerita Tentang Hujan karya Guntur Alam
* Surat Malala karya Faisal Oddang

Dari ke-enambelas cerita pendek tersebut ada beberapa yang menarik perhatian saya.
Salah satunya adalah Waktu Hujan Reda. Cerita dari Ria Destriana ini mengalir dengan lincah, dialognya luwes dan hidup. Kisahnya memang bisa ditebak tapi tokoh cowoknya, Rendy, bikin gemes. :)

Jam Tangan untuk Nanda membuat saya teringat masa SMP. Problem Nanda sama seperti saya, nggak bisa pakai jam tangan keren karena terlalu kurus. Bedanya Nanda ingin pakai G-Shock, kalau saya ingin pakai Baby-G yang merupakan versi feminin dari jam tangan tersebut. Kalau saya dulu nekat nambahin lubang pada jam tangan, Nanda memilih untuk meningkatkan berat badan. Hasilnya Nanda jadi cowok 'kayu jati' yang tegap dan keren. Tapi bukan itu saja yang membuat saya senyum-senyum baca karya dari Agfian Muntaha ini, tapi juga kejutan yang ada di akhir ceritanya yang bikin ngakak :D

Cerpen Love Code juga menarik diikuti. Saya ikut menebak-nebak siapa pengirim surat cinta yang unik itu. Unik karena si pengirim menulis surat cinta yang hanya berisi kode deretan huruf dan angka. Karya Karina Indah Pertiwi ini menurut saya enak dibaca karena mengalir dengan rapi.

Satu lagi cerpen yang bikin baper, Hanya dengan Foto karya Pretty Angelia. Jadi pengen naik ke Pangrango lagi, sambil bawa kamera. Suka dengan cerpen ini karena tema fotografi dan twist-nya. Maniiisss banget, deh, ceritanya ^^

Dongeng Bunga Matahari adalah favorit saya! Bukan hanya karena saya dulu juga pernah berpikir bahwa saya hanyalah bunga matahari, tapi cerita dari Anggun Prameswari ini bikin nyesek. Mengharu-biru apalagi puisinya. Saya sempat merasakan setitik asa untuk Bunga sebelum ia tertampar kenyataan :'(

Ada tiga cerpen dari Guntur Alam yang menarik semua. Tapi yang paling saya sukai adalah Warna Keberuntungan Maura. Saya nyengir baca ending-nya. Nggak tertebak dan bikin penasaran.

Surat Malala merupakan cerpen penutup dari Faisal Oddang. Cerpen yang legit dengan alur yang menarik.
Well, bisa saya katakan ini merupakan hal yang saya sukai dari susunan kumcer Love at School. Saya suka menyimpan bagian terbaik di akhir. Urusan makanan, bacaan atau apa pun selalu yang paling enak atau paling baik saya sisakan untuk dinikmati terakhir. Makanya saya suka, karena lima cerpen terakhir adalah cerpen terbaik menurut saya. Rasanya jadi lupa pada beberapa cerpen yang membuat saya mengerutkan dahi. Entah karena gaya penulisannya yang masih kaku, narasi tokoh cowok yang 'bersuara' cewek, ataupun eksekusi yang kurang mengena.

Saya rekomendasikan Love at School bagi pembaca remaja yang sedang mabuk cinta juga pembaca dewasa yang ingin bernostalgia dengan cinta semasa sekolah. Pesan saya hanyalah: awas baper. Haha…
Saya beri 4 bintang untuk Love at School.


TEBAR-TEBAR KUTIPAN

"Put, itu cowok paling ganteng satu sekolah!" Lili menunjuk ke arah podium. (Katanya sih Ini Cinta - hal. 1)

Banyak orang berpikir jadi jangkung itu menyenangkan. Sampai-sampai terobsesi untuk menambah tinggi badan. Tetapi, yang terjadi denganku justru kebalikannya. Aku tidak ingin tumbuh tinggi. Sebab tinggiku yang lebih dari 170 cm ini membuatku kesulitan mendapat pacar. Sudah lima kali cowok yang kutaksir menolakku dengan alasan yang sama -- aku ketinggian. (Cinta Sulit Si Jangkung - hal. 10)

"Bosannn…!" teriak Rendy dari balik jendela. Suaranya yang besar menggema mengalahkan deras air hujan yang turun. (Waktu Hujan Reda - hal. 23)

Sylvana bilang, cinta itu kayak potongan-potongan puzzle, nggak bisa menyatu kalau nggak ketemu kepingan yang pas. Tapi aku nggak setuju. (Puzzle - hal. 36)

Ada pepatah lama yang tidak kuketahui siapa pencetusnya yang berbunyi, "Setiap langkah besar selalu dimulai dari satu langkah kecil." Dan aku sangat setuju dengan hal itu. Aku memang mengalaminya sendiri. Sebuah langkah besarku dimulai dari satu langkah yang benar-benar kecil. Bahkan, alasanku mengambil langkah kecilku pun juga adalah hal kecil juga, yaitu jam tangan. (Jam Tangan untuk Nanda - hal. 47)

"Perlukah rasa cinta diberi nama?" tanyanya pada suatu sore. (Unnamed Love - hal. 63)

Keringat kini menetes sebulir-sebulir dari leherku. Aku yakin sekali kalau nyaris seluruh cairan di tubuhku sudah menguap di udara panas yang diam. Aku sudah tak tahan. Kurundukkan kepalaku perlahan agar tak ketahuan Mr. Poltak yang sedang menerangkan puisi dan sajak di depan kelas. Matanya yang minus tujuh kukira tak akan membuatku repot mencuri-curi kesempatan menyesap es soda yang kusimpan di laci mejaku. (Detention - hal. 71)

Sebagian orang berkata bahwa pertemuan pertama itu selalu menyenangkan dan menakjubkan, tapi tidak ada yang istimewa dengannya. Ia datang terlambat ke kelas, memakai jaket dan rambut gondrongnya ia tutupi dengan topi lalu duduk di paling belakang, dan di antara bisingnya obrolan kelas kami, kulihat ia sibuk dengan spidol dan menggoreskan sesuatu dengan serius di binder miliknya. Sebentar, kenapa aku begitu memperhatikannya? (Jangan Pernah Salahkan Waktu - hal. 83)

Cinta. Sesuatu yang selalu didambakan tetapi sulit diungkapkan. Sesuatu yang selalu dinanti tetapi sulit dipahami. Begitulah cinta. Ketika kalimat "I love you" tak bisa diungkapkan dengan tutur kata, ketika rasa ingin memiliki terpendam dalam hati, hanya angan dan harap yang tersisa. Menyatakan cinta secara langsung memang tidak mudah. Lalu bagaimana dengan menyatakan cinta secara tidak langsung? Tentu menjadi mudah berkat adanya Mading alias Majalah Dinding. (Love Code - hal. 94)

Aku tak begitu mengerti mengapa aku sangat tertarik dengan kamera. Yang jelas kamera sudah menjadi nyawa keduaku saat ini. Maka dari itu aku sangat menyukai fotografi. Dan yang kutunggu-tunggu tentunya adalah kompetisi fotografi yang seperti ini. (Hanya dengan Foto - hal. 106)

Februari 2013
"Bruk! Bruk!"
Lagi-lagi aku menjatuhkan buku-buku yang ada di rak perpustakaan sekolah ini. Kenapa sih, aku ceroboh banget? Padahal aku sudah lama pakai kacamata, supaya mataku yang minus ini tidak terus-terusan mengacaukan segala hal yang aku lakukan. Tapi sepertinya mengacaukan memang sudah jadi kebiasaanku. Bahkan, orang-orang yang ada di perpustakaan ini saja sepertinya juga sudah terbiasa dengan tingkah lakuku ini. Seperti dia, yang kali ini juga membantuku membereskan buku-buku yang kujatuhkan. (Library We Meet - hal. 117)

Hei kamu, ya kamu yang ada di situ,
Ada kisah yang mungkin kau belum tahu,
Tentang bunga matahari, sedikit pilu, tentu
Dengarkan, aku akan berkisah kepadamu
(Dongeng Bunga Matahari - hal. 127)

"Wit, tar pulang sekolah gue ikut lu berdua naik bus lagi ya?" ucap Cinta sembari mengaduk es jeruk yang ada di depannya. Wita terbelalak, buru-buru ia menoleh kepada Iren yang duduk di sebelahnya. Iren mengangkat sedikit bahunya, bingung. (Pangeran Cinta di Bus Kota - hal. 137)

Maura tercekat. Ia menahan napas dalam beberapa detik. Bola matanya membulat, ia benar-benar tak memercayai apa yang ia lihat barusan. Berulang kali ia membaca tulisan di halaman majalah kesayangannya itu. Tak berubah! Di sana tertera nama lengkap dan alamat rumahnya. Ia terpilih sebagai salah satu pemenang tiket nonton konser Super Junior di Jakarta. (Warna Keberuntungan Maura - hal. 147)

Hujan bulan November turun, Wi. Masih seperti tahun-tahun yang lalu. Disertai angin dan tetes air yang besar-besar. Dan kamu tahu? Sekarang tanggal 20 November. Hari ulang tahun kita. Ritualku masih seperti dulu, membuka- buka album kenangan yang menyimpan cerita tentang kita berdua. (Cerita Tentang Hujan - hal. 155)

Kepada Isuri…

Isuri bergeming. Ini sudah tiga hari dalam seminggu ia mendapati di mading sekolah ada puisi yang ditujukan buatnya. Pengirimnya sama, Malala. Hary Malala. Kembali, Isuri menatap dengan rasa haru yang bergolak di dadanya. Ia memperhatikan puisi itu. Perlahan membaca bagian yang baginya sangat jleb, di hati. (Surat Malala - hal. 165)

Note: cuplikan merupakan paragraf awal pembuka cerpen.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon