Sabtu, 23 Januari 2016

[Resensi: Segenggam Daun di Tepi La Seine - Wuwun Wiati] Memaknai Kesetiaan di Paris


Judul buku: Segenggam Daun di Tepi La Seine
Penulis: Wuwun Wiati
Desain cover & ilustrasi: Femmy F. Priscilya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Juli 2015
Tebal buku: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-1865-3
Available at: Bukupedia.com




BLURB

Hidup di Paris menjadi tak sama lagi sejak Ajeng menemukan sebentuk cincin di balik segenggam daun. Bahasa, makanan, dan budaya yang berbeda menjadi kesehariannya yang baru. Ajeng mulai menikmati semuanya di samping Yves tercinta.

Tapi, satu per satu masalah datang. Ajeng berkali-kali goyah akan kesiapannya menikah dengan Yves. Belum lagi godaan yang datang dari sosok flamboyan, si ganteng Alain. Sifat Alain yang antiterikat dan spontan terasa lebih sesuai bagi Ajeng. Di antara Menara Eiffel, Moulin Rouge, pantai nudis, sampai swinger club, bisakah Ajeng mengontrol dirinya dan tetap setia?


RESENSI

Ajeng akhirnya tiba juga di Paris, kota di mana kekasihnya yang warga Perancis tinggal. Walau masih ada sebersit rasa ragu akan tindakannya, tapi ia ingin mengenal Yves dalam keseharian pria itu. Untungnya ia mendapat restu dari Bapak dan adiknya untuk mengunjungi dan tinggal bersama Yves hingga masa visanya habis.
Di awal kedatangannya di kota itu, Ajeng mendapati adaptasi yang harus dilakukannya lumayan berat. Bukan saja karena sifat sembrononya berbenturan dengan keteraturan Yves, tapi ia juga mendapati perbedaan budaya dan pergaulan mereka. Salah satunya adalah bahwa orang Perancis lebih suka bicara dengan bahasa ibu mereka daripada bahasa Inggris. Maka Ajeng pun memutuskan ikut kursus bahasa Perancis.
Ajeng mulai berkenalan dengan sahabat-sahabat Yves dan sahabat-sahabat baru sesama orang Indonesia di sana, Doni dan Fina. Dua orang yang memiliki hubungan unik dengan pasangan masing-masing. Ajeng juga akhirnya diperkenalkan dengan sahabat Yves, Alain dan kekasihnya, Celine.
Untuk memperlancar bahasanya, Ajeng sering menemui Alain karena hanya Alain yang bisa membantunya mempelajari bahasa Perancis.
Alain dan Celine juga yang membujuk Ajeng untuk berpetualang ke tempat-tempat yang tak terbayangkan. Tapi seiring petualangan mereka, Ajeng mulai mempertanyakan perasaannya yang tergelitik oleh Alain.
Ia mulai goyah antara tetap setia dan menikah dengan Yves atau menuruti hasratnya yang penasaran pada Alain.

---------------

Akhirnya kesampaian juga baca novel ini. Langsung suka dengan covernya sih sejak awal. Judulnya juga entah kenapa memberi kesan yang romantis gitu. Haha~

Ide cerita novel ini sungguh menarik, adalah Ajeng, seorang perempuan yang dibesarkan oleh bapak yang sangat berpegang pada budaya jawanya, dengan berani memutuskan mendatangi kekasihnya di negeri seberang yang asing. Nggak ada saudara, nggak ada teman dan hanya Yves yang dikenalnya. Saya merasa si tokoh utama dan si bapak udah punya kepercayaan besar pada Yves, apalagi Ajeng dan Yves tinggal seapartemen.
Dan yang lebih rumit, sejarah masa lalu kehidupan pernikahan orangtua Ajeng menjadi hantu yang membuat Ajeng ragu-ragu untuk menikah. Ini membuat cerita makin berdinamika dan nggak tertebak ujungnya.

Novel ini bertutur menggunakan dua sudut pandang, yaitu POV orang pertama dari sisi Ajeng dan POV orang ketiga. POV orang ketiga digunakan saat penulis ingin menggambarkan perasaan Yves dan Alain.
Namun di halaman 35, saat pergantian sudut pandang, setelah menggunakan POV orang ketiga dan beralih ke POV orang pertama, terjadi kesalahan dalam kalimat pembukanya:

   Begitu keluar dari Metro di Trocadero, mereka langsung disambut pemandangan cantik Menara Eiffel.
  "Wah, Yves! Akhirnya aku sampai di sini!" seruku penuh semangat. (hlm. 35-36)

Memang pergantian dua POV seperti ini membutuhkan ketelitian super agar nggak tertukar.

Novel ini sebagian besar bersetting di Perancis, dan berkesan sangat alami. Bukan hanya lokasi tempat tapi suasana dan atmosfer penduduknya menjadi dukungan yang sempurna dalam novel ini.
Tapi saya juga sempat dibuat bingung dengan setting waktu novel ini:

Aku panik. Aku bangun pukul tujuh pagi waktu Paris, berarti pukul dua dini hari di Jakarta. (hlm. 146)

Ngg... sejak kapan Paris lebih cepat 5 jam dari Indonesia?

Tempat-tempat yang unik banyak bermunculan di novel ini, bukan hanya tempat wisata yang umum didatangi turis tapi Segenggam Daun di Tepi La Seine juga menyajikan tempat-tempat yang berkesan 'bebas'. Pantai naturis, swinger club, museum seks dan toko sex toys juga menjadi tempat-tempat yang dikunjungi Ajeng, Yves dan Alain.
Novel ini benar-benar menampilkan sisi Perancis yang berbeda. Dan nampaknya terlihat sangat mengagungkan bangsa Perancis. Terlihat dari bagaimana Ajeng merasa malu dan menolak membicarakan negaranya, tapi ketika Alain menanyakan kesan tentang Perancis, Ajeng langsung menjawabnya dengan bersemangat. Seandainya saja novel ini lebih berimbang dengan menampilkan usaha Ajeng memperkenalkan Indonesia, sehingga Indonesia bukan hanya selalu dikenal karena tsunami dan Bali-nya.

Well, bukannya saya menyalahkan Ajeng, memangnya apa yang bisa dibanggakan dari Indonesia jika menilik Ajeng sebagai perwakilannya. Ajeng sembrono, nggak teratur, serampangan, nggak bisa masak, dan menganggap kuno budayanya sendiri.
Di halaman 89, Ajeng mengungkapkan:

Aku langsung cemberut. Zaman begini, masih dikasih wejangan cerita pewayangan. Aku pribadi merasa cerita itu sudah kuno. Gila saja, masa satu istri–Drupadi–bisa dinikahi kelima Pandawa. Capek deh! (hlm. 89)

Setahu saya, Drupadi yang menikah dengan kelima Pandawa adalah Drupadi dalam epos Mahabharata, sedangkan dalam pewayangan Drupadi hanya menikah dengan Prabu Yudhistira. Wayang merupakan sarana penyampaian ajaran Islam di masa lalu, maka poliandri yang dilakukan Drupadi nggak diadaptasi mentah-mentah dalam wayang. Jika Ajeng merujuk pada pewayangan yang sangat disukai bapaknya maka ia salah besar, yang menikah dengan kelima Pandawa adalah Drupadi dalam cerita India. Cmiiw.
Saya merasa menyesal pada Ajeng yang menganggap sinis budaya Jawa. Oh, semoga saja saya nggak salah langkah dalam memperkenalkan budaya Jawa pada anak-anak saya seperti bapak Ajeng yang malah membuat Ajeng menganggap budaya Jawa sebagai budaya yang kuno dan ribet. :'(
Ajeng juga cukup kontradiktif menurut saya, dia tahu tentang swinger club tapi merasa heran terhadap orang yang berpasangan tanpa menikah dengan gaya hidup bebas, haduuh yang begituan banyak, Jeng. Kepolosannya jadi terasa dibuat-buat karena Ajeng toh menyukai pengalaman ekstrim berbau seksualitas. Bahkan ia mempelajarinya di masa kuliah.
Yang lucu adalah ketika ia menasehati Fina agar nggak berkaca pada apa yang terjadi pada orangtua Fina. Bahwa orangtua dan anak bisa menjalani hidup dengan cara berbeda. Lah? Bukannya dia sendiri ketakutan bakal kayak mamanya? Duh!
Soal kesembronoannya, entahlah. Saya sendiri juga pelupa. Kunci motor terutama. Tapi saya cuma lupa naruhnya di rumah. Kalau pergi, kunci rumah ya pasti ada di dalam tas dong. Udah, itu tempat teraman, kecuali saya menumpahkan isi tas saya di tempat-tempat saya bepergian. Ini Ajeng malah menggantungkan kuncinya di handphone, itu kan malah riskan? Mudah jatuh kalau dia ngeluarin handphone untuk nulis pesan atau menerima telepon. Sungguh, saya merasa Ajeng ini benar-benar nggak logis.

Yves cukup berkesan dan menarik. Hmmm~ pria yang teratur memang berasa mengancam, tapi salut deh. Saya mau anak-anak saya bisa teratur dan mandiri seperti dia.

Dialog antar karakter cukup menarik, interaksinya juga natural. Chemistry yang terbangun cukup asyik diikuti.

Secara keseluruhan, novel ini cukup menarik diikuti, terutama liku hati Ajeng yang sempat bercabang dan membuat saya menebak cabang mana yang akhirnya ia tuju. Menyenangkan karena informasinya tentang Perancis dan budayanya. Cukup tahu dan akhirnya membuat saya geleng-geleng kepala.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon