Kamis, 29 Desember 2016

[Resensi] Love in City of Angels - Irene Dyah

Judul buku: Love in City of Angels
Penulis: Irene Dyah
Editor: Donna Widjajanto
Desain sampul: Orkha Creative
Foto isi: Budi Nur Mukmin
Desain isi: Nur Wulan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: November 2016
Tebal buku: 216 halaman
ISBN: 978-602-03-3491-2



BLURB

Ajeng
Gadis kota besar yang bisa sangat bitchy dalam banyak hal, terutama pernikahan. Baginya, cinta cuma mitos.

Yazan Khan
Malaikat, Master Yoda, si Poker Face. Ketenangannya menemani Ajeng membeli test pack, setenang saat ia menyelipkan bunga di tangan gadis itu. Pendek kata, mengerikan.

Earth
Pria yang berisiko membuatmu lupa segala, termasuk namamu sendiri.

Cheetah
Mamalia yang sebaiknya tidak disebut-sebut di depan Ajeng.

Ibu
Dicurigai sudah kehilangan akal sehatnya karena mau menerima kembali pecundang itu.

Masjid Jawa di Bangkok
Tempat kisah-kisah bermula

Krung Thep alias City of Angels alias Bangkok
Di kota ini, terlalu tipis batas antara iman dan godaan. Ajeng lebih suka menyebutnya The Sin City.


RESENSI

Ajeng merasa resah saat tamu bulanannya belum juga datang, sepertinya ia perlu test pack. Dan semua gara-gara satu malam setelah Ajeng mendapat kabar dari Ibu bahwa Ibu ingin rujuk dengan pria pecundang itu. Malam itu Ajeng mengguyur hal yang menyedihkan dengan tawa, alkohol dan pria-pria tampan. Hingga ia jatuh ke pelukan Earth. Siapa sangka sekarang Earth justru menjadi ancaman bagi Ajeng?
Saat sedang kesal dan berusaha kabur dari Earth, Ajeng bertemu dengan Yazan, pria India rekan sekantor Ajeng. Pria yang dijuluki Master Yoda saking mengerikannya. Yazan yang cool itu bahkan tetap berwajah datar saat menemani Ajeng membeli test pack.
Yang tak diketahui Ajeng, rupanya Yazan telah lama memperhatikannya, dan kali ini tak ingin membiarkan Ajeng lepas sebelum benar-benar berjuang. Sedikit-demi sedikit, kehadiran dan perhatian Yazan mengikis rasa sinis Ajeng.
Namun Ajeng sadar, dirinya telah bergelimang dosa dan begitu berbeda dengan Yazan yang lurus. Akankah Yazan berhasil meluluhkan Ajeng? Lalu bagaimana hubungan Ajeng dengan pria yang seharusnya ia panggil Ayah? Dan bagaimana dengan Earth? Sanggupkah mereka memaafkan masa lalu?

---------------------------------

Love in City of Angels bisa dibilang merupakan buku yang saya nanti-nantikan, karena saya sudah jatuh cinta pada Ajeng sejak membaca Dua Cinta Negeri Sakura. Yaaap.. Saya memang membaca kisah Miyu lebih dulu dibanding buku pendahulunya, Tiga Cara Mecinta yang berkisah tentang Aliyah. Namun memang dari kedua buku itulah rasa penasaran saya pada Ajeng terbit hingga akhirnya tertuntaskan di salah satu seri Around The World With Love batch tiga ini.
Bagi kalian yang belum membaca Tiga Cara Mencinta dan Dua Cinta Negeri Sakura.... segeralah baca! Wkwkwkwk...
Meski sebenarnya tanpa membaca kedua buku itu pun, kisah Ajeng dalam Love in City of Angels bisa dimengerti sepenuhnya kok, cuma sayang saja, karena Ajeng benar-benar gokil parah di kedua buku sebelumnya, beda dengan di novel ini yang separuhnya mulai jinak 😅

Novel ini bertutur menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang Ajeng, sehingga saya dibawa merasakan kegelisahan dan rasa frustasi Ajeng. Tapi jangan khawatir, walau menggunakan POV dari sisi Ajeng, apa yang dirasakan oleh Yazan dan tokoh lainnya bisa tertangkap dengan mudah kok. Dari gestur, gerak-gerik serta pilihan kata dalam dialognya, terlihat jelas kok perasaan tokoh lainnya.
Setting Bangkoknya benar-benar luar biasa detail. Bukan hanya deskripsi tempat-tempat yang unik dan berbeda, tapi juga suasana dan budayanya dituturkan dengan apik. Saya paling suka dengan penggambaran festival Songkran yang dituliskan melalui pengalaman Ajeng dan Yazan dalam novel ini. Seru banget. Selain itu terselip juga trivia-trivia menarik tentang tempat-tempat unik di Bangkok. Semuanya dikemas dengan apik dan menarik.

Ajeng masih menjadi karakter yang asyik seperti di dua buku pendahulunya, walau nggak seceplas-ceplos Abby sang heroine dalam Wheels and Heels. Saya menikmati bagaimana Ajeng sering dibuat mati kutu oleh Yazan. Bagaimana gadis yang memandang sinis pada cinta sedikit demi sedikit menjadi terbuka juga.
Yazan sendiri karakter yang luar biasa aneh. Hahaha... di masa ini lho, dia tetap jadi gentleman dan legowo. Saat tiba di adegan Yazan membawakan tas Ajeng, saya jadi teringat satu bahasan di grup telegram nan rusuh, tentang seorang pria yang membawakan tas pasangannya padahal sang pasangan nggak sedang kerepotan. Saya ingat banyak yang menolak ide itu (termasuk saya), manja banget kan ya cewek nggak bawa apa-apa kok tasnya dibawain si cowok. Namun di tengah keriuhan diskusi, salah satu teman dengan kalem bilang kalau dia sering bawain tas istrinya walau istrinya nggak bawa beban apapun, alasannya.... dia terlalu sayang sama sang istri dan biar istrinya nggak kerepotan. Jadi, kalau saja nggak ada diskusi itu mungkin saya sudah menganggap Yazan manusia aneh.. Wkwkwkk...
Yah yang pasti Yazan adalah makhluk paling luar biasa sabar. Memang julukan Master Yoda cocok banget buat dia. Dan yang jelas memang Ajeng cocok dengan pria seperti Yazan. Dan omong-omong... Yazan ini romantis bangeeeet. Saya suka adegan ketika dia menjatuhkan kuntum-kuntum bunga di telapak tangan Ajeng.
Hubungan Ajeng dan Yuzu bukanlah satu-satunya yang menarik diikuti dalam novel ini, tapi juga hubungan antara Ajeng, Ibu dan Ayah. Konflik sampingan yang menyita perasaan Ajeng. Belum lagi kehadiran Earth yang membuat Ajeng kalang kabut takut hamil.
Semua bermuara pada satu hal, bisakah kita memaafkan kesalahan dan dosa masa lalu? Dan yang lebih menyakitkan, bisakah kita memaafkan diri sendiri sebelum memohon ampun pada Sang Kuasa?

Pada akhirnya, Love in City of Angel bukan saja menghadirkan kisah cinta yang penuh kesabaran dan ketabahan, tapi juga tentang pengampunan. Tentang mengambil sebuah pilihan, seperti halnya kita bisa memilih menyebut Bangkok sebagai Sin City ataukah City of Angels. So nice story... love it!!

Rabu, 28 Desember 2016

[Resensi] Love in Kyoto - Silvarani

Judul buku: Love in Kyoto
Penulis: Silvarani
Editor: Donna Widjajanto
Desain sampul: Orkha Creative
Desain isi: Nur Wulan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: November 2016
Tebal buku: 240 halaman
ISBN: 978-602-03-3630-5




BLURB

“Adinda Melati, Satoe hari nanti, berkoendjoenglah ke Kjoto dengan kimono jang kaoe djahit dari kain sakoera ini. Akoe menoenggoemoe.” —Hidejoshi Sanada (13/11/45)

Veli, gadis yatim-piatu yang sejak kecil diasuh kakek-neneknya, adalah perancang busana yang tengah naik daun. Sepulang dari Jakarta Fashion Week, dia menemukan tumpukan surat lusuh di sela-sela koleksi kain nusantara almarhumah neneknya, Nenek Melati. Nama pengirim surat berbau Jepang itu mengusik rasa ingin tahunya, apalagi ada kaligrafi potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya.

Bukan kebetulan, prestasi Veli sebagai desainer diganjar kesempatan tinggal beberapa bulan di Kyoto untuk mengikuti program industri budaya. Veli merasa, ini jalan untuk menambah ilmu sekaligus mencari tahu tentang Hideyoshi Sanada.

Dengan bantuan Mario, teman spesial yang sedang bertugas di Osaka, dan Rebi, kawan SMA yang sudah empat tahun menetap di Jepang, jalinan rahasia antara Hideyoshi dan Nenek pun satu per satu mulai terungkap. Penemuan ini juga membawa Veli dan Mario bertemu sosok dingin bernama Ryuhei Uehara, musisi muda shamisen, dan Futaba Akiyama, gadis pemalu penjaga kedai udon di tengah kota Kyoto. Ternyata, hubungan empat insan ini melahirkan kisah yang jauh lebih rumit dibanding cerita Hideyoshi dan Nenek Melati puluhan tahun silam....


RESENSI


Love in Kyoto merupakan novel perkenalan saya dengan karya Silvarani, karena baru kali inilah saya membaca salah satu karyanya. Memalukan ya? Padahal sudah banyak banget novel-novelnya bermunculan dan mejeng di rak-rak toko buku. But well, namanya jodoh gak lari kemana, kan? Toh akhirnya saya pegang juga salah satu karyanya dan membacanya hingga tamat.
Sebagai salah satu bagian dari seri Around The Worl With Love batch 3, Love In Kyoto memberi pesona tersendiri dibanding seri yang lain. Bukan hanya keindahan Kyoto saja yang menonjol di dalamnya, tapi juga sejarah dan budaya yang erat antara Indonesia dan Jepang. Ada secuil romantisme yang dihadirkan Silvarani di tengah kengerian dan kekejaman masa pendudukan Jepang di kala itu. Romantisme yang pada akhirnya bukan saja melibatkan Nenek Melati dan Hideyoshi Sanada saja, tapi juga orang-orang di sekitarnya, beberapa generasi kemudian.

Love in Kyoto berkisah menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Saya dibawa menyelami, bukan saja perasaan Veli tapi juga Mario, Uehara dan Futaba. Empat orang yang terlibat dalam rasa dan tersesat karenanya. Ceritanya mengalir maju dengan beberapa kali flashback, tapi alurnya tetap terjaga. Silvarani cukup luwes dalam menuliskan narasi, meski saya kadang merasa ada beberapa adegan yang sebenarnya nggak terlalu penting, yang seandainya dihilangkan pun nggak akan mempengaruhi cerita keseluruhan. Namun toh dialognya ditulis dengan begitu cair dan hidup, sehingga saya sangat menikmati persahabatan Mario-Rebi-Veli yang hangat dan gokil. Beberapa kalimat yang quotable pun diselipkan dengan rapi tanpa kesan sok bijak.

Mengenai tokohnya, saya sangat suka dengan Veli. Gadis yang mandiri, pekerja keras dan nggak banyak tuntutan. Saya suka hubungannnya dengan Mario yang adem, sejuk gimanaaa gitu. Saya suka bagaimana Veli menerima dengan kepala dingin saat rahasia-rahasia masa lalu neneknya terungkap. Veli lebih memilih menggali dan meresapi, bukan mengkronfontasi atau menuduh.
Mario sendiri, duh... bromance-nya dengan Rebi itu yang paling bikin saya meleleh. Wkwkwkk... Sungguh, saya menikmati memperhatikan Mario saat dia bersama Rebi. Bagi saya sih cowok terlihat menarik dari kualitas hubungannya dengan sahabat cowoknya. Jadi karena mereka kelihatan asyik banget, saya jadi suka dengan Mario. Lagipula, Mario ini baik, ramah dan santun. Idaman banget kan.
Yang lumayan menyebalkan bagi saya di sini sebenarnya adalah Futaba. Terlihat lemah di hadapan cowok yang disuka, tapi giliran bertemu cewek yang jadi saingan cintanya, langsung bilang kalau jatuh cinta pada sang cowok dan bikin si cewek jadi serba salah. Ini tipe cewek yang minta dibejek. Hahaha... 
Sementara Uehara terasa jadi tokoh penyeimbang dengan auranya yang tenang. Dingin, sedikit angkuh, tapi diam-diam memperhatikan. Aiiihh....

Setting novel ini hampir seluruhnya ada di Kyoto. Saya diajak berkeliling, menikmati satu tempat indah ke tempat indah lainnya di siang dan malam hari. Selain itu, ada banyak budaya Jepang yang muncul di novel ini, terutama alat musik. Semakin seru rasanya membaca novel ini karena trivia-trivia yang disajikan.
Konfliknya cukup beragam, bukan hanya berasal dari rahasia masa lalu nenek Melati, tapi juga dari orangtua Mario yang menentang hubungan Mario dan Veli serta hadirnya orang ketiga di sisi Mario dan sisi Veli. Menarik, seru dan bikin penasaran bagaimana semua akan berakhir.

Overall, ini adalah perkenalan saya yang menyenangkan dengan karya Silvarani. Love in Kyoto membuat saya memahami tentang cinta yang bertahan tanpa harus memiliki, juga tentang menghargai sebuah proses yang telah kita lakukan untuk mencapai tujuan.

Tonton juga book trailer seri Around The World With Love Batch 3 berikut ya..


Selasa, 20 Desember 2016

[Resensi] Love in Pompeii - Indah Hanaco

Judul buku: Love in Pompeii
Penulis: Indah Hanaco
Editor: Donna Widjajanto
Desain sampul: Orkha Creative
Desain isi: Nur Wulan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2016
Tebal buku: 235 halaman
ISBN: 978-602-03-3452-3



BLURB

Callum Kincaid, salah satu magnet Formula One, gagal menikah dengan kekasih modelnya. Pria yang sejak remaja sudah dikenal sebagai lady killer dan selalu mengencani gadis catwalk, memutuskan untuk tidak terikat komitmen dengan siapa pun untuk sementara. Tapi, kepindahan ke Hampstead dan ciuman yang terinterupsi, mengubah segalanya. Adalah Gladys Zayna Raviv, perempuan muda dengan pengalaman hidup yang mematangkannya lebih dari semestinya. Selalu menjaga jarak aman dari kaum pria karena terbebani dosa masa lalu. Hingga tiba hari ketika seporsi apple pie membuatnya mengenal pria bermata sangat biru dan wajah berbintik-bintik.

Meski Gladys ingin menjauh dari Callum, semesta tampaknya dengan keras kepala justru melakukan sebaliknya. Ditambah dengan Lulu, si orang ketiga antimainstream yang mementahkan semua upayanya.

Gladys berusaha menyangkal kebenaran yang disuarakan hatinya, hingga perjalanan ke Pompeii meruntuhkan segalanya. Hatinya tak lagi aman dari pesona Callum.

Sayang, kembali ke Hampstead, mereka ditunggu oleh kejutan besar. Masa lalu memang seperti hantu, menuntut untuk digenapi. Bisakah Gladys dan Callum bertahan dan memiliki keberanian untuk mengakui perasaan yang sudah begitu transparan? 


RESENSI

Kehidupan Gladys yang tenang di Hampstead bersama Lulu, putrinya, dan Tante Herra mulai terusik sejak kehadiran sang tetangga baru, Callum Kincaid. Berawal dari niat baiknya mematuhi tradisi, Gladys membuatkan apple pie untuk sang tetangga baru. Namun rupanya Lulu yang mudah akrab dengan pria dewasa langsung lengket dengan Callum yang menyukai anak-anak. Dan dimulailah hubungan pertetanggaan yang heboh tapi akrab.
Rupanya kedekatan Callum dan Lulu membuat Callum ingin berlibur bersama Gladys dan Lulu ke Napoli. Perjalanan mereka bahkan merambah hingga ke Pompeii. Di kota yang pernah hilang karena terkubur letusan gunung Vesuvius ini, Callum dan Gladys menyadari perasaan mereka. Sayangnya, hantu masa lalu Gladys telah menanti di London.
Mampukah Gladys mengusir hantu masa lalunya? Dan apakah Gladys akan menerima janji yang diucapkan Callum sementara ia tahu bahwa keyakinan mereka berbeda?

-------------------

Pompeii. Saya punya ketertarikan tersendiri terhadap kota ini sejak membaca ulasannya di majalah National Geographic bertahun-tahun yang lalu. Pompeii kota yang luar biasa, canggih pada masanya, dan menjadi pengingat bahwa alam dan Tuhanlah yang tetap punya kuasa di atas segalanya.
Maka ketika Indah Hanaco menuangkan kota ini ke dalam salah satu novelnya, saya merasa antusias. Banget.
Ditambah lagi Callum Kincaid sang tokoh utamanya berprofesi sebagai pembalap F1. Olahraga yang dulu saya ikuti perkembangannya bahkan pernah bikin saya iri berat pada Azrul Ananda yang bisa mondar-mandir di sirkuit-sirkuit.. Wkwkwk..

Love In Pompeii merupakan salah satu novel yang termasuk dalam Around The World With Love Series yang kini telah memasuki batch tiga. Bicara tentang seri ATWWL ini semakin ke sini kota yang dieksplorasi oleh keempat penulisnya semakin unik dan lain dari yang lain. Nah Pompeii sendiri termasuk kota yang unik dan berbeda.
Meski demikian setting novel ini bukan hanya di Pompeii saja, tapi juga di London dan Bogor. Malah sebagian besar cerita terjadi di London, di mana Callum dan Gladys tinggal bertetangga. Banyak hal yang terjadi di antara mereka yang menarik, lucu dan menggemaskan di London. Namun puncak romansanya memang terjadi di Napoli dan Pompeii.
Penggambaran settingnya yang rapi membuat saya betah ikut menyusuri setiap sudut kota ini. Detail tempat dan suasananya seakan saya benar-benar ada di sana. Banyak trivia-trivia seru tentang Pompeii yang pastinya akan semakin bikin penasaran.
Ada juga trivia-trivia tentang balap formula satu yang disajikan di dalam novel ini. Namun yang luar biasa adalah penggambaran situasi balapan ketika Callum sedang berada di tengah-tengah race. Haih saya saja sampai tegang membacanya.

Love in Pompeii menggunakan sudut pandang orang ketiga dan beralur maju. Ceritanya mengalir dengan ringan sekaligus seru. Saya semakin menikmati gaya bertutur Indah Hanaco yang luwes dan santai. Interaksi antara Callum, Gladys dan Lulu terasa asyik dan nggak kaku. Saya menangkap betapa mereka nyaman satu sama lain dan menjalin chemistry yang kuat. Callum dan Lulu sendiri luar biasa banget interaksinya. Saya saja yang pernah mengalami fase saat anak berusia lima tahun, manalah bisa sesabar dan setabah itu. Hahaha...
Saya suka jalinan ceritanya yang ringan dan seru. Semakin lama membaca novel ini saya semakin terhanyut dan geli sendiri. Banyak momen manis yang sederhana tapi mengena bagi saya. Konfliknya pun bukan hanya berasal dari masa lalu Gladys tapi juga kegalauan Gladys karena ia dan Callum begitu berbeda. Situasi kayak gini sakit banget loh #eaasurhat

Karakter Gladys dalam novel ini benar-benar menunjukkan seorang survivor, ia belajar dari kesalahan. Berani berbuat berani bertanggung jawab.
Saya suka banget deh dengan Callum. Oke entah ini anak lakiknya Indah Hanaco yang keberapa yang saya suka, saya sudah lelah menghitung. Bisa dibilang saya mungkin punya harem yang isinya karakter pria dari novel-novelnya Indah Hanaco saja. Tapi Callum memang spesial dan berbeda. Callum itu santai, sabar dan nggak grusa grusu. Jelas lah ya, pembalap F1 mah pastilah orang yang sabar dan penuh perhitungan 😷  Dan sepanjang membaca novel ini yang terbayang di benak saya justru Kimi Raikkonen... my iceman. Padahal Kimi kan gak seplayboy Callum yak.. wkwkwkwk...

Dalam Love in Pompeii ada masa lalu yang harus dituntaskan dan bukan sekedar dikubur.  Bahwa meski kita membenci dan merasa terluka akan masa lalu, ada seseorang yang memiliki hak untuk mengetahui fakta kebenarannya. Duh rasanya saya nggak rela mengakhiri membaca novel ini. Sebenarnya saya ingin menjelajahi Pompeii lebih lama bersama mereka dan ingin melihat Gladys berdiri di paddock menanti hasil balapan Callum. Bagi saya sih itu momen luar biasa bagi kekasih dan istri pembalap yang bikin saya iri 😉 


Rabu, 07 Desember 2016

[Resensi] Love in Montreal - Arumi E

Judul buku: Love in Montreal
Penulis: Arumi E
Editor: Donna Widjajanto
Desain sampul: Orkha Creative
Desain isi: Nur Wulan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: November 2016
Tebal buku: 228 halaman
ISBN: 978-602-03-3460-8



BLURB

Montreal. Di sinilah Maghali Tifana Safri, perancang baju asal Solo yang mulai bersinar namanya, mendapat kesempatan melanjutkan studi. Ujian berupa teror dari sekelompok orang hampir merontokkan sikap toleran Maghali, kalau saja Kai Sangatta Reeves tidak muncul menyelamatkannya. Rupawan, cerdas, berhati emas. Model sekaligus dokter dan relawan. Pesona Kai begitu kuat, tapi Maghali sadar dia tak boleh terlena karena lelaki itu berada di kutub yang berbeda. 

Ujian lain datang dalam bentuk gadis cantik bernama Isabelle. Model pirang yang memeragakan baju-baju rancangan Maghali ini meminta bantuan untuk lari dari jerat cinta sesama dan pemberitaan miring tentang masa lalunya. Seolah belum cukup pelik, Maghali kembali diuji kala Kai yang dirundung duka melabuhkan rasa resah pada dirinya, membuat gadis ini makin sulit memendam rasa. Kesadaran Maghali baru pulih kala melihat Isabelle mendekati Kai. Susah payah hatinya mengakui, keduanya lebih cocok menjadi pasangan karena sama-sama rupawan dan tak ada halangan mengadang. 

Ketika masa tinggalnya di Montreal berakhir, Maghali mengira selesai pula siksaannya menahan rasa pada Kai. Tapi pada satu hari sakral di Tanah Air, Kai tiba-tiba muncul. Akankah terbentang masa depan untuk keduanya, ataukah mereka harus puas dengan sepotong episode penutup?


RESENSI

Selama satu tahun, Maghali akan melanjutkan studynya di Montreal. Ia mendapatkan kesempatan dari La Mode Montreal karena rancangan-rancangan modest wear miliknya unik dan menarik. Kesempatan emas yang tentu tak bisa ditolak.
Melalui La Mode, Maghali bertemu dengan dua model yang akan memperagakan baju rancangannya, Isabelle dan Kai. Siapa sangka Maghali akan menjadi akrab dengan mereka. Isabelle yang ramah dan Kai yang gentleman dan ternyata masih punya darah Indonesia.
Kehidupan Maghali tak akan biasa saja karena kehadiran mereka. Isabelle punya masalah dan memohon bantuannya, sedangkan Kai... membuat jantung Maghali berdetak tak menentu.
Namun, bila ini memang cinta, apakah cinta mereka bisa bersatu? Bagaimana dengan Isabelle yang mengaku menyukai Kai juga? Akankah Maghali memilih mundur saja?

------------------

Love in Montreal merupakan salah satu seri Around The World With Love batch ketiga. Sebelumnya Arumi E telah menulis Love in Adelaide untuk batch pertama dan Love in Sydney untuk batch ketiga. Dari ketiganya, baru Love in Montreal saja yang sudah saya baca. Novel ini memang berkaitan dengan kedua novel sebelumnya, tapi hanya sebatas keterkaitan antar tokoh utama. Jadi novel ini tetap bisa dinikmati secara lepas dan nggak menunjukkan spoiler pendahulunya kok. 😉

Novel ini diceritakan melalui sudut pandang orang ketiga, dan lebih banyak terfokus pada Maghali atau yang kemudian lebih akrab disapa Lili (meski bagi saya nama Maghali lebih eksotis daripada Lili). Perasaan-perasaan Maghali tampak lebih menonjol dibanding karakter yang lain. Jadi saya cukup dibuat bertanya-tanya tentang perasaan Kai. Karena sikap Kai yang penuh perhatian itu begitu manis tapi seolah masih wajar. Dalam bayangan saya Kai memang akan selalu penuh perhatian seperti itu tanpa pandang bulu. Saya jadi galau deh.. Kai ini menganggap Maghali spesial nggak sih?
Maka ketika momen galaunya Kai muncul, saya sorak-sorak bergembira deh... udah gemes banget sih 😷😷

Setting tempat dalam novel ini sebagian besar ada di Montreal, saya diajak menyusuri tempat-tempat yang luar biasa. Deskripsinya mendetail dan rapi, pas takaran dan penempatannya. Di bab-bab akhir, settingnya berpindah ke Solo dan Sangatta. Dari Montreal hingga ke Sangatta, betapa Kai dan Lili telah melalui banyak hal.
Selain latar tempat, latar musimnya pun dideskripsikan dengan apik oleh Arumi. Belajar selama setahun di Montreal, pastilah Lili telah melalui semua musim yang ditawarkan kota itu. Di setiap musim, ada kejadian penting yang terjadi, membuat Love in Montreal semakin berkesan saja rasanya. Pahit dan manis. Kesedihan dan kebahagiaan. Betapa banyak yang telah Lili lalui hanya dalam jangka waktu satu tahun.

Bicara tentang karakter, Maghali terlihat mandiri dan berani. Ia juga ramah pada siapa saja dan selalu optimis. Saat mengalami kejadian nggak enak pun, ia tetap berpikiran baik dan tawakal. Maghali juga ramah dan ringan tangan. Meski galau tentang perasaannya terhadap Kai tapi Maghali nggak plin-plan, ia tetap tau apa yang ia inginkan untuk hidupnya.
Sementara Kai, aduuh.. jujur Kai bukan tipikal hero favorit saya. Kai itu terlalu luar biasa. Ganteng, mapan, baik, jago masak, juga penuh keteladanan. Kai seolah nggak ada cacatnya. He is so prince charming. Bukan tipe saya yang penyuka beast. Ya ampun Kai bahkan nggak pernah marah dan terganggu. Cute and charming banget deh.

Love in Montreal bukan hanya kisah romantisme berlatar tempat-tempat indah. Ada kisah tentang perjuangan dan toleransi di dalamnya. Maghali berani tampil berbeda, berani tetap mempertahankan identitasnya, meski beberapa orang menudingnya. Keyakinannya nggak goyah sedikitpun.
Ia tetap memiliki pikiran positif terhadap Isabelle. Bahkan berani mendukung gadis itu.
Tinggal di negara di mana ia menjadi minoritas, Maghali merasakan benar mana yang tulus menerimanya dan mana yang membencinya karena Islamophobia. Namun sama seperti Maghali, saya percaya rasa kemanusiaan masih lebih besar dibanding mempermasalahkan tentang perbedaan.
Kegalauan yang timbul karena perbedaan keimanan antara dirinya dan Kai pun cukup menyakitkan. Namun Maghali tetap bersabar. Ada saatnya kita untuk diam, tapi ada saatnya ketika tanda-tanda itu muncul, kita harus melangkah.

Well, secara keseluruhan Love in Montreal menyajikan kisah yang manis dan hangat. Membaca novel ini menjadi pengalaman yang seru. Maghali telah menularkan keberaniannya dan positif thinkingnya. Saya rekomendasikan novel ini untuk pembaca yang menyukai setting yang unik dan charming hero. Hati-hati pesona Kai memang luar biasa memikat, lho.

Bagi yang penasaran, simak deh book trailer Around The World With Love 3 berikut ini 😉



Minggu, 04 Desember 2016

[Posbar] Baca di Mana Saja Ya?

Tema posting bareng BBI bulan ini menantang banget, terutama untuk orang mager kayak saya. Bagaimana tidak, saya diminta memfoto orang yang sedang membaca. Hahahaha... jujur ini sulit banget buat saya.
Bulan November bukanlah bulan kelayapan bagi saya. Tentunya karena cuaca yang sedang jelek, bikin malas banget pergi kalau dikit-dikit langit mendung. Apalagi kalau saya pergi, rombongan sirkus (baca: anak-anak) pasti ngikut, terbayang sudah kerepotan apa yang terjadi kalau kehujanan di jalan.

Sialnya lagi, saya bukanlah orang yang inget gadget kalau lagi jalan keluar. Seringnya malah hape berkamera saya tinggal di rumah. Emak-emak macam saya yang gaulnya cuma ke pasar, sekolah anak, kantor kelurahan-kecamatan jarang banget bisa menemukan orang sedang membaca. Senpat terpikir untuk memfoto anak-anak yang sedang membaca di sekolah, tapi lagi-lagi saya lupa nggak bawa gadget. Sial banget. Hahahaha...

Satu lagi kendala saya adalah saya kemana-mana naik sepeda motor, dan tentunya bersama rombongan sirkus. Manalah bisa jelalatan mencari orang lagi baca buku. Kalau toh ketemu, udah rempong duluan kalau mau memfoto. Sungguh, misi kali ini MUSTAHIL banget buat saya >.<

Untungnya saya bertemu juga dengan moment itu di sebuah tempat yang belakangan bikin saya wara-wiri. Tak lain dan tak bukan adalah di Noice Cafe. Kafe milik seorang teman yang terletak di Jalan Sekar Dwijan no 33 Yogyakarta.



Si mbak asyik banget baca bukunya ya.. jadi nggak berani mengganggu. 😆


Well.. maafkan saya yang kurang total dalam menemukan orang-orang yang sedang membaca. Tapi saya yakin, ada banyak pembaca berkeliaran di kota ini, sayang kami nggak berjodoh untuk bertemu. #lalubaper 😰


 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon