Minggu, 31 Desember 2017

[Sudut Unyu] Kaleidoskop 2017 dan Resolusi Baca 2018

Nggak terasa ternyata tahun 2017 hampir berakhir, bahkan hanya bersisa hitungan jam. Sedih akutu~~
Jika dibanding tahun lalu, tahun 2017 ini ampun dah, mood baca novel romance ilang, mood ngeblog terbang entah ke mana, dan sekali baca buku susah move on-nya wkwkwk~
Saya menutup tahun 2017 dengan 77 buku saja. Pencapaian baca saya bisa dilihat di goodreads challenge berikut ini:



Dari 77 buku tersebut hanya 22 buku saja yang saya tulis reviewnya. Memang sejak awal tahun saya telah memutuskan untuk berhenti dulu menerima tawaran blogtour ataupun mereview buku, karena saya sempat merasa kewalahan. Membaca dan mereview jadi seperti sebuah tanggung jawab yang harus dituntaskan. Saya ingin membaca dan menulis sesuai ritme saya, tanpa dibatasi deadline. Namun memang akibatnya seolah saya jadi nggak produktif dalam membaca dan mereview. Padahal, buku-buku yang saya baca tahun ini lebih mengena dan lebih saya sukai dibanding tahun lalu.

Tengok saja buku Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom yang edan banget bikin saya susah move on. Juga buku Dusta-Dusta Kecil alias Big Little Lies milik Lianne Moriarty yang membuat saya heboh ngepromosiin buku ini ke teman-teman saya. Atau bagaimana saya takjub pada Para Bajingan yang Menyenangkan karya Puthut EA yang koplak banget.
Saya juga menemukan penulis-penulis yang bikin saya jatuh cinta berat pada karyanya seperti Gunawan Tri Atmodjo, Dea Anugrah dan Kedung Darma Romansha. Saya tenggelam dalam puisi-puisi memikat milik Jokpin, F Aziz Manna, Hasan Aspahani dan Triyanto Triwikromo.

Pengalaman paling seru adalah saya berhasil menyusuri kisah Hoegeng, melalui beberapa biografinya. Ya, saya mirip orang yang kehausan saat memburu buku-buku yang mengangkat kisah beliau. Bahkan saya sampai meminjam novel Halaman Terakhir jauh-jauh dari Mbak Desty di Palopo. Wkwkk~ Bacaan yang akhirnya membuat saya tertarik untuk menelusuri kisah-kisah para tokoh yang menandatangani Petisi 50. Sayangnya saya gagal saat hendak menulis reviewnya. Hhh~

Intinya walau tahun ini bacaan dan review saya merosot jauh dari tahun lalu, tapi tahun ini banyaaaak buku bagus yang berhasil saya baca. Pada bulan-bulan akhir saya juga bisa kembali menikmati membaca novel romance dan menemukan buku yang bikin saya nangis nggak berenti-berenti kayak lagi nonton film India Kabhi Kushi Kabhi Gam... hahaha~
The Devilish Mr. Danvers karya Vivienne Lorret adalah salah satunya.

Hmm... untuk tahun 2018 saya nggak akan muluk-muluk lagi deh. Harapan saya adalah bisa membaca sesuai pilihan saya, dan mungkin lebih rajin bikin review. Sejak akhir tahun 2017 saya juga mulai menerima tawaran review dan blogtour lagi walau masih dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan. Semoga tahun depan saya bisa bekerja sama dengan baik dengan pihak-pihak yang mempercayai saya.
Yaah... sampai jumpa di tahun 2018 dengan bacaan-bacaan yang semoga semakin keren-keren. Salam literasi :)

Jumat, 22 Desember 2017

[Review] Grand Story Magazine: Liberating Literacy | Semangat Berbagi dalam Literasi

Nama Majalah: Grand Story Magazine
Project Director: Rudy Harsono
Editor in Chief: Fiqih A. Dennoto
Media Reporter: Yoshica Putri & Dedy Tri Sulistyadi
Copywriter: Sekar Wulandari Yogaster
Photographer: M. Edo Barrudy & Aryanda Nugraha
Cover: Betrayer Family
Cover Writer: Kurniawan Gunadi
Illustrator: Ifada Nisa
Writer: Shevani Thalia, Marina Sybille, & Hestia Istiviani



Sebagai individu yang tumbuh besar bersama majalah, hal yang masih jadi kebiasaan saya adalah: membuka halaman majalah dari belakang, alias dari halaman terakhir ke muka. Ini kesenangan utama saya dari membaca majalah ataupun tabloid, karena tentu saja saya nggak bisa melakukannya terhadap buku, novel dan komik, kan?
Bahkan hingga sekarang saat majalah yang saya konsumsi hanyalah majalah bobo dan mombi yang saya baca bersama anak-anak saya, anak-anak yang awalnya heran pun sekarang terbiasa dengan habit saya ini.

Ketika sebuah email datang dari Sekar Wulandari di bulan Agustus lalu (huhuu, maafkan jika review saya berselang cukup lama), untuk menawari saya mereview sebuah majalah tematik, tentunya ini menarik minat saya dan saya menyetujuinya. Majalah ini tiba di bulan September dan benar-benar membuat saya penasaran karena Grand Story Magazine yang dikirimkan kepada saya kebetulan bertema Liberating Literacy.
Desain covernya cakep banget. Sebuah gambaran tentang manusia saat menerima dan mengolah arus informasi, diilustrasikan dengan sangat apik dan detail dalam tinta emas dengan latar hitam. Dan ternyata, cover ini punya makna mendalam yang diulas sendiri dalam Cover Story... waaah rupanya konsep untuk cover pun dipikirkan secara matang 😍

"Menerima dengan indera.
Memilah dengan pikiran.
Mencintai dengan hati.
Menjadikannya kebaikan."

Demikian secuil inti dari cover story yang rasanya mengena di hati, dan membuat saya meresapinya lamat-lamat.

Grand Story Magazine memiliki konsep yang rapi. Disajikan dengan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, majalah ini nyaman untuk dibaca. Walau saya membaca dari belakang, tapi saya tetap akan menjabarkannya dari depan, sehelai demi sehelai. Kkk~
Selain Cover Story, majalah ini juga menghadirkan Flash Story, Main Story, Figure Story, Advertising Story, Community Story, Our Story, Event Story dan After Story. Wow... komplit banget, kan?

Dalam Flash Story disajikan berita-berita ringkas tentang perkembangan terkini sesuai tema. Karena edisi ini temanya adalah literasi, tentunya dalam Flash Story muncul berita-berita terkini tentang literasi, yang tentunya sangat penting untuk diketahui.
Ada tiga artikel utama dalam Main Story yaitu: Mengedukasi Lewat Literasi, Mematahkan Stereotipe Lewat Pembaharuan Perpustakaan, dan Kejayaan Industri Buku, Pekerjaan Rumah Literasi Indonesia. Masing-masing artikel menghadirkan perspektif yang matang dan disampaikan dengan apik.



Memasuki Figure Story ada tokoh-tokoh hits dalam dunia literasi yang memeriahkan isi majalah ini. Mereka adalah Aan Mansyur, Agustinus Wibowo, Dewi Lestari, dan Kathleen Azali. Jawaban-jawaban yang mereka berikan dalam sesi question & answer dalam majalah ini begitu jujur, penuh dedikasi dan menginspirasi.
Dalam advertising story, ada tips-tips yang dibagikan kepada pembaca tentang periklanan, dan yang lebih penting yang masih berkaitan atau sesuai dengan tema.

Dua komunitas literasi kota Surabaya bercerita secara bergantian dalam Community Story. Sebagai kota yang mendeklarasikan diri sebagai Kota Literasi, komunitas-komunitas literasi mulai tumbuh dan menyemarakkan Surabaya, seperti Aliansi Literasi Surabaya dan Komunitas Kota Jancuk yang tampil dalam majalah ini. Kisah dan kegiatan yang mereka kemukakan tentunya diharapkan bisa menginspirasi para pembaca.
Dalam Our Story terdapat artikel-artikel tentang industri kreatif yang muncul untuk memberikan kesegaran. Yang menarik tentu saja ada pada artikel travel, di mana muncul sisi lain kekayaan Surabaya yang ditampilkan melalui potret-potret yang luar biasa indah. Foto-foto yang mampu 'berbicara' bahkan tanpa narasi apa pun. Selain itu ada juga Book Review, Our Recommendation dan Our Opinion yang melengkapi bagian ini.



Beberapa kegiatan yang telah diadakan di Surabaya muncul dalam Event Story. Sedangkan After Story menjadi penutup yang merangkum keseluruhan tema, memberikan penutup yang membuat pembaca merasa tergugah dan berpikir untuk lebih kreatif lagi, terutama dalam menyebarkan semangat literasi.

Secara keseluruhan tampilan Grand Story Magazine sangat menarik. Tata letaknya nyaman untuk dibaca, penempatan dan pemilihan foto-fotonya pun indah dilihat. Iklan-iklannya tidak mengganggu baik dari segi penempatan maupun porsinya. Grand Story bukan hanya sebuah majalah yang menyajikan tema-tema terkini tapi juga memanjakan pembacanya.
Untuk berlangganan atau informasi lainnya bisa dengan menghubungi via email marketing.grandstorymagz@gmail.com

Selasa, 19 Desember 2017

[Resensi] Raindrops Serenade - Dya Ragil | Ujian Kepercayaan dalam Persahabatan

Judul buku: Raindrops Serenade
Penulis: Dya Ragil
Ilustrasi sampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2017
Tebal buku: 256 halaman
ISBN: 978-602-03-7877-0



BLURB

“Omong-omong, gue lagi nulis lagu atas permintaan band kampus. Mau bantu?”
“Kenapa? Lirik yang lo tulis berasa sampah lagi?”
“Lebih baik sampah daripada plagiat.”

Risa pernah menulis lagu bersama Amel, lalu tiba-tiba lagu itu diklaim sebagai lagu yang diciptakan oleh salah satu personel band Lima Oktaf. Ketidakjelasan kenapa lagu itu bisa jatuh pada pihak ketiga membuat dua sahabat itu saling menyalahkan dan akhirnya bermusuhan. Bahkan, Risa sempat melakukan percobaan bunuh diri karena tidak kuat menghadapi cyberbullying yang dilakukan para fans Lima Oktaf.

Setelah kejadian itu berlalu, Risa harus kembali berhadapan dengan Lima Oktaf karena urusan kepanitiaan orientasi mahasiswa baru di kampusnya. Keadaan makin rumit ketika dia mendapati Galang, pemuda yang sudah dia anggap adik sendiri, ternyata sedang menulis lagu untuk Lima Oktaf tanpa mengetahui seperti apa masa lalu Risa.

Apa yang akan Risa lakukan saat Galang meminta bantuannya menulis lagu itu? Bagaimana pula reaksi Amel yang masih saja menyalahkannya?


RESENSI

Sejauh ini saya selalu suka novel-novel Young Adult yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Dibanding lini lain, permasalahan yang diangkat sebagai isu dalam novel-novel Young Adult lebih kompleks, dan tentunya lebih mematahkan hati. Namun di sisi lain, novel-novel ini memberi kekuatan dengan cara mereka masing-masing, mereka bangkit walau susah payah saat jatuh, mereka melawan sebisa mereka saat menghadapi hantu terbesar mereka, mereka memunguti serpihan hati mereka dengan tegar saat kalah, mereka tetap penuh cinta kasih setelah dihantam badai. Ada pesan-pesan yang diulurkan untuk diraih para remaja dewasa seusia mereka.

Dalam Raindrops Serenade saya bertemu dengan Risa, seorang mahasiswi yang pesimis dan dibayangi sebuah trauma. Gadis yang pernah menghadapi tragedi dalam hidupnya sehingga nampak diliputi kesedihan. Ia mengalami krisis kepercayaan, baik terhadap orang-orang maupun terhadap dirinya sendiri.
Saya juga bertemu dengan Galang, pemuda yang dua tahun lebih muda dari Risa, dan entah kenapa walau terkesan sendu, kehadirannya selalu terasa menentramkan. Itu yang saya rasakan setiap kali ia berinteraksi dengan Risa.
Saya menyukai keunikan hubungan mereka. Ada saat di mana Galang seolah seperti anjing penjaga yang lucu yang mengekori ke mana pun tuannya pergi. Lembut untuk disayang, tapi juga garang saat ada yang berani melukai. Hhh... bikin iri 😆😆
Saya bertemu juga dengan Amel, mantan sahabat Risa yang berseteru hebat dengan Risa. Mereka sama-sama mengalami krisis kepercayaan. Mereka sama-sama menutupi luka hati mereka dengan kemarahan dan kebencian. Namun saya nggak bisa membenci Amel, cara bicaranya yang pedas itu menggemaskan. Saya suka pemilihan kalimat-kalimatnya. Sadis tapi manis.

Sesungguhnya ada banyak banget tokoh dalam novel ini yang muncul, dan membuat saya kebingungan. Maafkan saya yang memang punya keterbatasan memori dalam mengingat nama-nama. Namun karena tokoh-tokoh itu sangat penting dalam membangun konflik novel ini, saya pun akhirnya bisa mengikuti. Kemunculan mereka yang cukup sering, juga bagaimana nama mereka yang disebutkan dalam dialog antar tokohnya membantu saya untuk mengingat peranan mereka.

Ada beberapa isu besar yang diangkat dalam novel ini. Yang pertama adalah plagiarisme. Orang-orang banyak yang menyepelekan hal ini, menganggap plagiarisme bukanlah suatu kejahatan. Novel ini berusaha menyuarakan bahwa pelanggaran hak cipta dapat berimbas pada banyak segi kehidupan.
Yang kedua adalah cyberbullying. Maha benar netijen dengan segala komentarnya. Saya sangat geram pada Reno, yang dengan sengaja membiarkan para fansnya untuk membully Risa di media sosial. Jahat. Kejam. Padahal satu kalimat jahat saja bisa menjatuhkan mental seseorang yang mungkin sedang di titik terendah, apalagi ini komentar rame-rame. Tuduhan. Kecaman. Makian. Wajar jika kemudian korban cyberbullying kebanyakan memutuskan untuk bunuh diri. Bukan karena mereka lemah, tapi mental, hati dan kepercayaan mereka telah diinjak-injak oleh para perisak.
Yang ketiga adalah kepercayaan. Seberapa besarkah kepercayaanmu terhadap sahabatmu. Saat ada masalah menerpa kalian berdua, apakah kalian akan tetap berdiri bersama, ataukah kalian akan saling menyalahkan. Seberapa banyakkah kalian mengijinkan hati kalian untuk mempercayai sahabat kalian. Yakinkah kamu dia nggak akan menusukmu dari belakang? Dalam novel ini, ada kisah persahabatan yang mengalami pasang surut. Ada kepercayaan yang diuji. Dan saat kebenaran terungkap, bisakah mereka memaafkan dan membuka lembaran baru.

Pada awalnya saya membaca Raindrops Serenade dengan susah payah, ada dialog yang seolah dipaksakan untuk masuk & mengulur-ulur cerita. Ada deskripsi panjang yang seolah nggak ada pentingnya. Juga betapa gemasnya saya karena penulis seolah berputar-putar untuk menunda menjatuhkan bom masalah yang sebenarnya. Namun begitu bomnya meledak, tiga perempat novel ini saaaaangat mengasyikkan. Page turner banget. Tempo ceritanya juga menjadi cepat. Saya tenggelam pada usaha Risa untuk mendapatkan kembali apa yang pernah hilang darinya. Terlebih lagi saya suka dengan banter yang dilakukan antara Risa dan Amel. Mereka cute banget :)))
Ooh saya juga suka dengan lirik-lirik lagu yang ditulis Risa. Cakep banget pemilihan diksinya.

Membaca novel ini pada akhirnya membuat saya memikirkan tentang sahabat saya. Bersyukur karena kami nggak pernah dihantam badai seperti yang dialami Risa dan Amel. Saya juga berusaha mengingat-ingat pernahkah saya membuat komentar jahat dan menyudutkan terhadap seseorang di media sosial. Ah, semoga saja tidak. Bagaimana dengan kalian?
Hmm... yah, saya sih tetap akan merekomendasikan novel ini apa pun jawaban kalian 😉

Jumat, 15 Desember 2017

[Resensi] Bittersweet Love - Netty Virgiantini & Aditia Yudis

Judul buku: Bittersweet Love
Penulis: Netty Virgiantini & Aditia Yudis
Editor: Kinanti Atmarandy
Desain sampul: Dwi Anissa Anindhika
Penerbit: Gagas Media
Tahun terbit: 2012
Tebal buku: 244 halaman
ISBN: 979-780-544-1



BLURB

Merindukanmu adalah satu-satunya kata yang dapat menggambarkan rasa ini. Dan semuanya dimulai sejak aku kehilanganmu.
Ketika waktu membawakan pilihan-pilihan lain untukku, langkahku masih terbelit oleh ingatan tentangmu. Kasih sayang yang seluruhnya milikku pun harus terbagi. Bahkan, rumah tak lagi menjadi tujuanku untuk pulang.
Kini aku menyadari bahwa semua sudah berganti dan yang bisa kulakukan hanyalah menghadapi. Semua yang telah lewat tak mungkin bisa kembali. Apa yang kupikir lenyap, nyatanya tertutup emosi. Butuh waktu untuk belajar mencintai lagi. Dengan penuh keyakinan diri aku melakukannya.
Menerima. Cinta sesederhana itu saja.

RESENSI

Belakangan Nawang mulai sering ikut tawuran, apalagi jika sekolahnya berhadapan dengan sekolah Hefin, Nawang akan dengan ganasnya maju sampai garis terdepan. Rasa bencinya terhadap Hefin memang sangat besar, dan cowok itu juga membalas dengan kebencian yang tak kalah besar. Pernikahan ayahnya dengan Ibu Hefin, membuat Hefin tanpa seizinnya telah masuk ke kehidupan Nawang. Hilang sudah sosok ayah yang dulu dicintai Nawang.
Di sisi lain Nawang menyukai sensasi dilindungi oleh Artan ketika ia ikut tawuran. Artan yang membuatnya berdebar. Artan yang mulai tertarik pada Joanna, adik tiri yang dibenci Nawang. Seolah tak mau ketinggalan, Ibu Nawang pun menikah lagi dengan ayah Joanna. Membuat Nawang terpaksa tinggal bersama keluarga baru yang tak diinginkannya. Ia membenci Joanna, karena merebut perhatian Ibu, dan juga Artan.
Hidup terasa seperti neraka bagi Nawang, Hefin dan Joanna, mereka dipaksa beradaptasi, seolah mereka robot tanpa perasaan. Akankah waktu dapat membuat kebencian mereka meluruh?

-----------------------------
Sebelumnya saya sudah diperingatkan oleh salah satu penulis duet gagas ini agar siapin tisu sekotak karena sang penulis sendiri sampai patah hati saat menulis bagiannya. Hueee~~ padahal udah diperingatkan loh, lha kok saya masih tetap mewek ra uwis-uwis. 😭😭😭

Bittersweet Love merupakan duet dua penulis yaitu Netty Virgiantini dan Aditia Yudis. Kedua penulis ini masing-masing menuliskan cerita tentang seorang gadis remaja yang harus beradaptasi dengan keluarga barunya. Dua penulis, dua gadis, dua sudut pandang, satu latar, satu konflik masalah.

Di bagian pertama ada Take It yang dikisahkan oleh Netty Virgiantini tentang Nawang, gadis yang dipaksa menerima keadaan yang disebabkan perceraian kedua orang tuanya. Ia terpaksa memiliki dua keluarga baru, terpaksa memiliki saudara tiri, masing-masing dari pernikahan ayahnya dan pernikahan ibunya. Ini sih berat banget :(
Saya dibawa termehek-mehek dengan gaya Nawang yang berusaha kuat, kekeraskepalaannya malah membuat saya iba.
Ini adalah kisah perjuangan Nawang melawan rasa bencinya sendiri, perjuangan seorang putri yang tersesat dan kebingungan karena tak tahu di mana harus menempatkan diri. Baik dalam keluarga baru ibunya, maupun keluarga baru ayahnya. Itu sebabnya ia menjadi pembenci.
Bisa dibilang sepanjang membaca cerita Nawang saya nangis nggak ada berhentinya. Rasa sakit Nawang, rasa benci Nawang, rasa kesendirian Nawang semua dituliskan dengan apik dan menyentuh. Bikin saya ikutan sakit. Huhueee~~
Take It adalah murni kisah Nawang menghadapi dan mengatasi konflik batin dan konfliknya dengan saudara-saudara tirinya. Yaa ada sih kisah romancenya yang manis, tapi dikiiit. Dikit tapi udah bisa bikin meleleh. Yaaah... baper lagi kan :'))


Di kisah kedua ada Pulang yang dituturkan oleh Aditia Yudis. Ini adalah kisah Joanna, gadis yang dimusuhi Nawang karena menjadi saudari tirinya. Entah karena sudah membaca kisah Nawang lebih dulu, atau memang benar seperti itu, saya merasa Joanna memang menyebalkan, manja dan egois. Kalau Nawang membenci dengan aksi diam dan nggak peduli, Joanna ini lebih kurang ajar karena dengan ucapannya dia berani memarahi ibu tirinya.
Membaca kisah Joanna nggak menimbulkan rasa simpati sebesar saat membaca kisah Nawang, mungkin karena sisi dewasa saya (halaaah) nggak menyetujui cara berpikir Joanna. Jo terlampau manja, terlampau mengasihani diri sendiri, padahal dia masih punya abang dan Artan yang memperhatikannya, berbeda dengan Nawang yang benar-benar diabaikan semua orang.
Saya jadi lumayan geram juga, karena penolakan mentah-mentah dan sikap kurang ajar Joanna, yang menyebabkan Ibu Nawang memusatkan perhatian untuk memenangkan hati Jo, di sisi lain membuat Nawang tanpa sengaja terabaikan. Hiihhh pokoknya bikin kesel lah baca kisah Joanna ini.


Bittersweet Love membuat saya memahami efek yang disebabkan oleh pernikahan baru yang dipaksakan terhadap anak. Sayangnya, memang ada orang tua yang mengejar kebahagiaan mereka sendiri, tanpa memikirkan kebahagiaan anak-anak mereka. Nawang, Hefin dan Joanna adalah anak-anak yang tak diberi kesempatan untuk menyamankan diri terlebih dulu. Keputusan yang diambil orang tua mereka membuat mereka tersesat dan menghancurkan hati mereka. Perpisahan memang menyakitkan, terutama bagi anak-anak, tapi lebih menyakitkan saat orang tua mengajak anak-anak memasuki kehidupan baru tanpa menanyakan pendapat anak-anak terlebih dulu, tanpa membuat mereka nyaman terlebih dulu.
Well, Bittersweet Love bukan hanya menunjukkan kepada saya cinta yang manis dan pahit, tapi juga terasa menyengat saya dengan kegetiran.

Sabtu, 09 Desember 2017

[Resensi] Skandal Sang Duchess - Courtney Milan

Judul buku: Skandal Sang Duchess
Judul asli: The Duchess War
Series: Brothers Sinister #1
Penulis: Courtney Milan
Alih bahasa: Eka Budiarti
Desain sampul: Marcel A. W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Oktober 2016
Tebal buku: 480 halaman
ISBN: 978-602-03-3290-1



BLURB

Miss Minerva Lane terkenal pendiam, dan ia ingin tetap seperti itu, karena kali terakhir ia menjadi pusat perhatian, hal itu berakhir sangat buruk sampai ia terpaksa mengganti nama untuk meninggalkan masa lalunya yang penuh skandal. Jadi ketika seorang duke tampan muncul, ia sama sekali tidak menginginkan perhatiannya. Tetapi justru itulah yang ia dapatkan.

Robert Blaisdell, Duke of Clermont, memiliki misi penting yang amat dirahasiakan. Karena itu, ia terkejut ketika Minnie berhasil mengungkap rencananya. Robert menyadari di balik sifat pendiam Minnie, ada kecerdasan yang membahayakan. Maka ia bertekad menguak skandal masa lalu Minnie sebelum wanita itu mengungkap rencananya lebih jauh. Tapi si nona pemalu terbukti merupakan lawan yang lebih tangguh...

RESENSI

Setelah membaca The Governess Affair sebagai novella yang mengawali seri Brothers Sinister, saya cukup bersemangat untuk lanjut ke novel pertamanya yaitu The Duchess War atau Skandal Sang Duchess. Hmm... yang menarik dari pandangan pertama tentunya adalah cover version-nya yang berbeda dengan cover version aslinya. Saya suka dengan gambar bidak-bidak catur di situ, karena maknanya lebih mewakili dibanding cover sosok seorang wanita.
Beberapa kali membaca karya Courtney Milan, terutama seri Turner, membuat saya menyadari betapa saya mengagumi penulis ini. Dalam karya-karyanya, Courtney Milan selalu memberi tokoh utamanya sebuah kekurangan. Hal inilah yang saya temui ketika membuka halaman pertama The Duchess War. Ya, Minnie atau Miss Willhelmina Pursling adalah seorang wanita yang memiliki bekas luka di wajahnya dan dianggap membosankan.

"Menurutku dia akan muat dengan pas. Sebagai istri, Mrs. Pursling akan seperti buku-buku ini. Saat aku ingin mengeluarkan dan membacanya, dia akan ada di sana. Saat aku tidak ingin, dia akan menunggu dengan sabar, persis di tempat dia ditinggalkan. Dia akan menjadi istri yang penurut untukku, Ames. Selain itu, ibuku menyukainya." (hlm. 12)

Miss. Pursling mungkin adalah sosok yang sempurna untuk dijadikan istri bagi kalangan atas di masa itu. Kritik sosial yang disampaikan dalam novel ini jelas adalah menyinggung perilaku para prianya yang menjadikan wanita sebagai alas kaki, yang dianggap bodoh dan hanya sebagai hiasan pelengkap. Tapi tunggu. Benarkah heroine kita di novel ini adalah makhluk penakut dan pasrah menerima keadaan?
Rupanya Miss. Pursling hanyalah topeng yang digunakan oleh Minerva Lane untuk menutupi jati dirinya, karena Minnie yang asli takut orang-orang akan mengetahui skandal yang pernah ia alami yang telah mengakibatkan luka di wajah dan rasa sakit jauh di dalam hatinya. Jika pada awalnya saya sempat merasa kecewa, pada akhirnya saya sangat menyukai Minnie. Ia ahli dalam berstrategi, otaknya bagai mesin yang penuh hal-hal yang mencengangkan, ia berani dan nggak gampang digertak.
Berbeda halnya dengan Robert Blaisdell, Duke of Clermont, yang menurut saya biasa saja. Saya telah membaca The Governess Affair, dan saya tahu betapa menjijikkannya ayah Robert yang mewariskan gelar Duke of Clermont. Saya merasa bersimpati dan memahami mengapa Robert menjadi begitu terobsesi untuk menjadi perjaka. Ia nggak mau melakukan kesalahan dan kebejatan yang sama seperti yang dilakukan ayahnya. Sayangnya, ini membuat Robert terlalu "baik" dan terlalu polos, sehingga acara seksual pertama mereka terasa sedikit aneh :')

Konflik dalam novel ini sangat seru, karena begitu kompleks. Pembaca bukan hanya diajak mengikuti perkembangan hubungan Minnie dan Robert yang naik-turun, tapi juga perkembangan politik pada masa itu, bagaimana Robert berusaha menghapuskan hak-hak para bangsawan dan memberi hak-hak yang lebih manusiawi kepada para buruh industri. Kesungguhan Courtney Milan dalam melakukan riset untuk membangun latar waktu dan suasana, terlihat jelas dalam novel ini.

Sebagai buku pertama dari sebuah serial, kemunculan Oliver Marshall, Sebastian Malheur, dan Violet Waterfield dihadirkan dengan porsi yang pas untuk memancing rasa penasaran. Kebersamaan mereka juga banter yang mereka lakukan begitu menggelitik dan menarik minat. Bagi saya, jujur saya sangat tertarik dengan hubungan Sebastian dan Violet yang terlihat kompak dan seolah menyimpan sesuatu. Ehem.

Bagian favorit saya, adalah hubungan Robert dengan ibunya dan hubungan Robert dengan ibu Oliver. Sebenarnya saat ibu Oliver memeluk Robert itulah yang paling bikin saya mewek. Untunglah penerimaan yang mereka tunjukkan dan berikan belum terlambat. Untunglah Robert masih bersedia menanti dan nggak jadi pria yang pahit.

Well, bagi saya The Duchess War menjadi novel historical romance yang layak dibaca karena bangunan konflik dan plotnya yang apik. Dan saya sudah nggak sabar untuk melanjutkan petualangan dengan brothers sinister selanjutnya 😉




Rabu, 29 November 2017

[Blogtour: Impian Demian] Pertemuan Tak Terduga dengan Penulis

Pic from google

Sekali lagi aku melirik cemas pada kain serba putih yang dikenakan putra sulungku. Kain yang melilit tubuhnya itu masih tampak sempurna warnanya. Untuk saat ini. Entah bagaimana nanti setelah kegiatan berlangsung.

Aku nggak akan separno ini kalau kain itu milik kami sendiri, baru jadi masalah karena kain itu hasil meminjam dari tetangga. Ya maklumlah kalau untuk kegiatan yang cuma terjadi setahun sekali begini, aku memang sangat pelit. Bagaimanapun juga prinsip ekonomi harus ditegakkan, bukan? Okesip. Terima kasih untuk yang setuju, yang nggak setuju aku layani perdebatannya lain kali saja.
Kurasakan genggaman putraku mengencang dan sentakannya yang pelan membuatku benar-benar menoleh padanya.

"Kenapa, le?" Entah mengapa aku nggak bisa menanggalkan kata sapaan ini dan tetap menggunakannya di mana pun kami berada. Mungkin aku terlalu nyaman menyebut anak-anakku dengan thole, karena mengingatkanku pada tanah kelahiran.

"Ibu mau pulang atau nungguin sampai selesai?" tanyanya penuh harap.

"Pulang aja ya," sahutku setengah usil.

Bibir putraku langsung membuat cemberutan yang sangat kuhapal. Namun sesuai dugaanku, dia tetap diam dengan penuh gengsi.

Aku mengedarkan pandangan dan menemukan penjual es cincau di bawah pohon tak jauh dari tempat kami berdiri. "Hmm... tapi ada es cincau enak di sana. Ibu tungguin di sana aja ya," ujarku sambil mengangguk sedikit ke arah penjual es cincau.

Putra sulungku menoleh mengikuti arah yang kutunjuk, lalu menyipitkan mata. "Katanya nggak boleh jajan sembarangan," ucapannya yang separuh polos separuh menyindir itu membuatku tergelak.

"Iya... iya... Kan sekali-kali doang," aku berusaha membela diri. "Atau ibu pulang aja nih?"

"Huh, ibu nggak asyik!" Gerutu putraku kesal.

Aku tertawa sekali lagi, "makanya, jangan banyak protes. Udah sekarang kita cari guru dan kelompokmu dulu deh."

Melihat putraku mengangguk, aku kembali mengedarkan pandangan memilah di antara para orang tua dan anak-anak berpakain putih, mencari keberadaan rombongan dari sekolah putraku.

Pandanganku menemukan apa yang kucari, maka dengan sedikit bergegas kugandeng putraku ke titik kumpul guru dan teman-teman putraku.

"Bu Guru!" Belum sempat aku membuka suara, putraku lebih dulu berteriak dan berlari mendekati sang guru. Tanpa sungkan dia langsung memeluk dan mencium tangan gurunya. Cih, kalau dengan bu guru saja, nggak pakai gengsi segala.

"Selamat pagi, Bu Ina," sapa sang guru saat melihatku mendekat. "Mau ditinggal atau ditunggu nih putranya, Bu?" Tanyanya dengan nada ramah.

"Selamat pagi, Bu. Eng... saya tunggu di sebelah sana saja ya, Bu. Yang adem tempatnya." Jawabku sambil menunjuk ke penjual cincau yang kulihat tadi.

Kualihkan pandanganku dari anggukan dan senyum manis Bu Guru ke arah putraku, "Ibu tinggal dulu ya, Le. Sini mana ciumnya," aku menundukkan badanku sedikit ke arahnya.

Tanpa ragu ia memeluk leherku dan mencium kedua pipiku.

"Ingat pesan Ibu ya," bisikku dengan nada tajam disadis-sadiskan. "Jangan sampai kotor kainnya."

Kali ini giliran ia yang tertawa keras, "Ibuuuu... Ibu udah bilang gitu ratuuuusan kali." Sungutnya setengah geli setengah kesal.

Dih lebay, mana ada aku bilang sampai ratusan kali. Oh, atau bisa jadi memang sebanyak itu? Pikirku mencoba mengingat-ingat. Yasudah, mengalah sajalah pada kata anak kecil ini.

Aku bangkit dan melambai padanya, lalu berbalik dengan mantap menuju bapak-bapak penjual cincau. Kulihat sudah ada seseorang yang sedang duduk di bangku yang disediakan si bapak. Setelah cukup dekat, baru aku sadar aku mengenali sosok ibu muda yang manis itu.

Sedikit ragu karena takut ditolak, kuambil tempat duduk di dekatnya. "Permisi, Mbak Nimas ya?"

Dengan kaget ia mengangkat wajah dan menatapku. "Iya benar. Siapa ya?" Raut bingungnya membuatku buru-buru menyodorkan tangan.

"Saya Ina, Mbak. Salah satu pembaca buku Mbak Nimas. Baru saja kemarin saya menyelesaikan baca Impian Demian," cerocosku memperkenalkan diri.

Senyum lebar terbentuk di wajah cantiknya, ia mengulurkan tangan menyambut jabat tanganku. "Oh iya... iya.. Hai, Ina. Sini duduk sini. Wah saya senang lho bisa ketemu pembaca saya." Mbak Nimas membalas dengan keramahan yang membuatku tersentuh.

"Hehe.. Apalagi saya, senang banget bisa ketemu penulis yang novelnya bikin saya merasa nano-nano." Tukasku seraya duduk setelah sebelumnya memberi kode ke bapak penjual es cincau  membuat dengan mengacungkan satu telunjuk.

Mbak Nimas terbahak, "Nggak nyangka ya bisa ketemu. Ina dari mana?"

Aku menunjuk ke arah keramaian anak-anak yang sedang mulai bersiap melakukan latihan manasik haji di lapangan. "Mengantar putra saya, Mbak. Mbak Nimas sendiri sedang apa?" Selidikku penuh minat.

"Sama dong. Saya juga nganter putri saya. Daripada saya pulang trus bolak-balik, ya saya tunggu saja di sini."

Aku mengangguk-angguk sepakat. "Kalau gitu, boleh nggak nih saya temenin, Mbak? Pengen ngobrol-ngobrol dikit nih sama Mbak Nimas soal novel."

Ngobrol dikit atau banyak?" Godanya dengan senyum dikulum.

Aku tergelak sambil menerima gelas cincau dari si bapak penjual. Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali menghadap ke Mbak Nimas. "Kalau Mbak Nimas nggak keberatan sih, ada banyak pertanyaan yang ada di benak saya tentang Demian."

"Boleh...boleh.. Silakan aja bertanya. Sambil menunggu anak-anak ini, kita ngobrol-ngobrol aja." Sahutnya dengan ramah.

"Berapa lama sih Mbak waktu yang dibutuhkan Mbak Nimas untuk bikin Impian Demian?" Tembakku langsung saking penasarannya.

Mbak Nimas terlihat sedikit menerawang untuk mengingat-ingat. "Novel itu mulai saya tulis ketika menetap di apartemen di Jakarta, karena seringnya jenuh di dalam apartemen saja, Saya mulai deh nulis lagi, itu sekitar Januari 2017, dan Saya selesaikan pelan-pelan, sampai Agustus 2017, ya sekitar enam bulananlah."

Aku seruput es cincauku seraya mendengarkan dengan saksama. "Hmm.. lumayan cepat juga ya, Mbak. Bagian mana tuh yang menurut Mbak Nimas susah untuk dituliskan?"

"Yang susah? Saya rasa bagian yang menceritakan tentang pekerjaan seorang arsitek, itu butuh riset sendiri. Sama pas editingnya itu, luar biasa melelahkan," Mbak Nimas tergelak riang.

"Kenapa, Mbak? Editornya cerewet kah? Atau nyebelin?"

Mbak Nimas masih tertawa, "umm.. cerewet nggak yaaa.. Coba tebak!" Jawabnya berteka-teki dengan tatapan jenaka.

"Yaaah... Saya nggak pinter tebak-tebakan, Mbak," keluhku sambil menahan senyum melihat ekspresi Mbak Nimas. "Yaudah, ganti pertanyaan deh. Kalau bagian yang bikin seneng nulisnya bagian mana nih, Mbak?"

Mbak Nimas kembali menjawab pertanyaanku dengan serius. "Bagian yang saya suka itu yang menceritakan tentang pabrik kosmetik dan persahabatan Demian dengan Rio dan Dewi, juga flirtingnya sama Alexandra."

"Lhaa... tapi saya malah suka baca flirting ngaconya Demian sama Maura, Mbak," protesku cepat.

"Oh ya?"

Aku mengangguk untuk mempertegas ucapanku, "paling suka malahan. Lucu mereka berdua itu. Gokil bener si Maura. Stres pasti si Demian punya sekretaris kayak dia. Sukurin."

"Kok malah sukurin?" Tanya Mbak Nimas dengan geli.

"Ya abisnya Demian nyebelin sih, Mbak. Pengen ngegaplok jadinya."

Suara tawa Mbak Nimas kembali terdengar. "Gitu ya?"

Sekali lagi aku mengangguk. "Bicara soal Demian, kapan sih Ibu Demian mendirikan Sara Cosmetic? Dan kenapa gitu, Mbak?"

"Jadi gini lho yang melatarbelakangi ibu Demian membangun Sara Cosmetic, itu pertama karena dia punya passion di situ, dia perempuan cantik yang terbiasa bergelut dengan kosmetik dan kebetulan memiliki kemampuan bisnis yang diwarisi  dari keluarganya. Dia perempuan yang ulet dan tidak mau hidup susah, apalagi suaminya hanya seorang dosen. Maka dengan kemampuannya dan didukung oleh kemampuan modal sedikit yang ada, ditambah kemampuannya meraih minat investor, maka dia membangun Sara Cosmetic."
Mbak Nimas menyesap es cincaunya sebelum melanjutkan kembali. "Kedua, juga nggak jauh dari sifat suaminya yang kaku dan pemarah, yang membuat batin Sara sedikit gersang sehingga dia melarikan kebahagiaannya dalam bentuk lain, yaitu berkarya. Berdedikasi penuh pada pekerjaannya. Karena suaminya itu, samalah seperti sikapnya ke Demian atau Hilda, kaku dan emosian, juga tidak bisa mengungkapkan perasaan sayang dan perhatiannya dengan benar. Hal mana yang membuat Sara memendam sakit batin dan akhirnya menjadi penyakit kronis juga buatnya."

Aku tertegun mendengar jawaban panjang dari Mbak Nimas. "Tapi suaminya sebenarnya cinta banget kan, Mbak?"

Mbak Nimas mengangguk "Raditya sebenarnya sangat mencintai istrinya, hanya saja dia nggak tahu bagaimana harus bersikap dan bagaimana dia harus merefleksikannya. Maka ketika di ambang maut Sara memintanya menikahi Hilda demi kelangsungan perusahaan kosmetik dan demi Demian, dia pun mau saja, meski pernikahan itu membuat Hilda tersiksa. Jadi begitulah sayangkuu... Kira-kira Sara Cosmetic dibangun tak lama setelah Sara menikah dengan Raditya dan Demian masih baby. Itu kisaran tahun 1995."

Mendengar cerita Mbak Nimas, aku melirik sejenak ke lapangan mencari-cari sosok putraku dengan pandangan mataku yang terbatas, lalu menghela napas berat. "Saya menyadari ada beberapa orang tua yang sulit mengekspresikan kasih sayangnya, sama seperti ayah Demian. Menurut Mbak Nimas bisakah sifat seperti itu diubah?"

"Tentang orang tua yang sulit mengekspresikan perasaan ke anak, itu sampai kapanpun sifatnya sama seperti itu. Tapi biasanya menjelang semakin tua, perhatiannya ke anak semakin besar, meski masih terasa kaku nggak bisa mendekat terlalu akrab. Saya bikin karakter itu selalu berdasarkan role model karakter orang-orang sekitar saya, jadi saya perhatikan mereka itu seperti apa, dan di situlah bisa muncul karakter kuat dalam sebuah novel. Jadi bukan sekedar karakter karangan belaka. Ada di kehidupan nyata." Tukasnya dengan nada tegas.

"Iya benar, Mbak. Saya juga banyak melihat yang seperti itu," sahutku menyetujui. "Selain mengamati sekitar, riset apa lagi yang Mbak lakukan untuk novel ini?"

"Banyak. Salah satunya riset tentang pabrik, dan yang penting tentang pekerjaan seorang arsitek. Untung keponakan saya arsitek, jadi bisa tanya tanya ke dia." Mbak Nimas terkekeh pelan di ujung penjelasannya.

Aku tersenyum, "mudah buat ditanya-tanya ya, Mbak. Pantes Demian ini benar-benar kerasa rasa arsiteknya. Nah, kita kan udah tahu nih, apa impian Demian. Kalau Mbak Nimas sendiri apa impiannya?"

Mbak Nimas terdiam sejenak sebelum menjawab dengan senyum lebar, "Impian saya, saya pengin keliling dunia, pengin bikin film, dan kelak novel novel saya difilmkan."

"Huwaa... Amiiiin." Tukasku dengan sungguh-sungguh, berharap benar Mbak Nimas bisa mencapai impiannya juga. "Lanjut nih, Mbak... Harapan buat Demian sendiri apa, Mbak?"

"Berharap Demian jadi arsitek hebat, pabrik kosmetiknya juga sukses, hubungannya dengan Hilda dan Lucia membaik, dan segera nikah sama ****. Harapan yang utama,semoga best seller dan difilmkan. Aamiin.."

Sekali lagi aku mengaminkan doa Mbak Nimas. "Mbak, itu yang di atas itu saya sensor ya namanya. Biar pembaca tetap ada kagetnya nanti pas baca Impian Demian."

"Ooops.. iya. Dibintang aja, atau kasih tiiitt," ujarnya dengan ekspresi lucu.

"Yakalii kayak KPI ngasih tiiit mulu." Sahutku terkekeh. "Kalau Mbak Nimas ini tipe orang tua yang seperti siapa sih?"

"Saya separuh Hilda dan separuh mamahnya Rio, hahahaa.. Ibu-ibu cuek yang nyantai. Tapi nggak secerewet mamah Rio juga sih."

Aku terbahak mengenang kecerewetan mama Rio yang sering membuat Rio dan Demian mati kutu. "Ada yang bilang, seorang penulis akan menuliskan keresahan yang dirasakannya, adakah keresahan yang Mbak tuangkan dalam novel ini?"

"Kalau bisa dibilang keresahan, itu adalah adanya hubungan absurd antara Demian dengan Hilda dan Lucia, ini juga bukan sekadar pemanis cerita tapi memuat keresahan saya sendiri, karena di hidup saya, saya juga punya seorang Hilda, seorang Lucia, begitupun dari keluarga suami. Jadi saya gambarkan betapa rumitnya hubungan seperti ini dalam novel saya."

Ah, saya jadi ingat tentang Lucia, cewek yang mencuri perhatian saya karena kemunculannya yang selalu bikin saya ngelus dada. "Lucia itu sangat menarik perhatian saya, mengagumi abangnya yang dingin, mencoba mengais perhatian abangnya tapi hasilnya selalu nol. Namun rasa sayang dan kagumnya nggak hilang. Saya lihat walau pemalu tapi dia sangat optimis. Mbak Nimas ada rencana buat nulis tentang Lucia nggak untuk nanti ke depannya?" tanyaku dengan antusias.

"Mungkin, bisa saja kan? Insya Allah kalau saya diberi kesempatan, ingin sekali menuliskan tokoh Lucia ini. Dukung yaa..."

"Ooo.. sudah pasti kalau itu, Mbak. Pastilah saya dukung. Semoga karya-karya Mbak Nimas laris manis, dan tercapai semua impiannya." Ujarku dengan penuh semangat.

"Amiiin..." Sahut Mbak Nimas nggak kalah semangatnya.

Kami terdiam sejenak dan sama-sama memandang ke arah kerumunan anak-anak. Menatap buah hati masing-masing dengan harapan yang memenuhi benak. Berharap dengan keterbatasan sifat kami sebagai orang tua, anak-anak tetap yakin dan percaya bahwa kami para orang tua tetap mencintai mereka dengan cara kami sendiri. Berharap mereka tak menyimpan kebencian kepada kami, seperti Demian yang membenci ayahnya. We hope not... :')

**** END****

Cerita pendek ini dibuat sebagai bagian dari blogtour Impian Demian. Maafkan kemampuan menulis saya yang tak seberapa ini, meski besar harapan saya semoga teman-teman pembaca bisa menikmatinya :)


Senin, 27 November 2017

[Resensi: Impian Demian - Nimas Aksan] Perjuangan Demian untuk Menyelamatkan Impian-Impiannya

Judul buku: Impian Demian
Penulis: Nimas Aksan
Editor: Dion Rahman
Penata sampul dan ilustrasi: Ulayya Nasution
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: November 2017
Tebal buku: 360 halaman
ISBN: 978-602-04-4956-2



BLURB

"Impianku bukan berada di sini bersamamu dan sepabrik dengan perempuan sensi lainnya yang bergerombol membahas lipstik. Aku mengambil jurusan arsitektur bukan iseng-iseng seperti saat kamu ikutan lotre dan buummm … namamu keluar sebagai pemenang. Aku ingin membuat gedung. Aku selalu membayangkan bisa membangun banyak sekali gedung tinggi yang indah di negeri-negeri yang jauh dari sini.” 

“Kenyataannya kamu berada di sini, Demian. Di gedung rusak yang harus kamu bangun kembali.”

Impian Demian Radityawangga untuk menjadi arsitek gedung bertingkat di seluruh dunia terancam kandas ketika dia didatangi oleh Alexandra Hardianty, Public Relation dari Sara Cosmetic, perusahaan kosmetik yang diwariskan kedua orangtuanya. Alexandra membuka kenyataan bahwa dia memiliki kewajiban memimpin perusahaan yang sedang mulai sekarat itu, sebagai bentuk pengabdiannya pada mendiang sang ibu, Sara Amalia, pendiri Sara Cosmetic. 

Keadaan semakin memburuk ketika Demian berkonflik dengan Hilda, ibu tirinya, yang memegang hak cipta atas Aqualove, produk kosmetik temuan terbaru yang seharusnya bisa menolong Sara dari kebangkrutan. 
Mampukah Demian dan Alexandra bersama-sama mengatasi krisis dan menyelamatkan pabrik kosmetik yang nyaris bangkrut itu, sementara di sisi lain, kesempatan untuk meraih impiannya mulai memanggil-manggil?


RESENSI

Ini adalah pertama kalinya saya mencicipi novel karya Nimas Aksan. Melalui Impian Demian saya disuguhi sebuah pergulatan batin seorang laki-laki tanggung yang harus memilih antara meraih impiannya sendiri atau mempertahankan impian almarhumah mamanya. Satu hal yang pastinya nggak akan mudah untuk dihadapi siapa pun, terutama jika ada ikatan yang sangat kuat antara sang anak & ibunya.

Impian Demian disajikan melalui sudut pandang orang pertama. Ya, novel ini begitu vokal menyuarakan isi hati Demian. Perasaannya terhadap kedua sahabatnya—Rio dan Dewi—yang sebentar lagi akan menikah, perasaannya terhadap mantan kekasih yang juga akan menikah, perasaan akan almarhum papanya yang ia benci, juga perasaannya menjadi pria populer yang selalu jadi bahan flirting wanita-wanita di sekelilingnya. Capek pasti rasanya ya 😅.
Sudut pandang ini pulalah yang membuat saya merasa Demian cukup egois. Pada awalnya saya merasa iba atas apa yang ia alami semasa kecil. Hidup dengan orang tua yang susah mengekspresikan rasa sayang tentu menyakitkan bagi anak-anak. Sulit. Namun saya juga bisa mengerti nggak semua orang tua mudah memeluk atau mudah menunjukkan kasih sayang. Saya tahu rasanya, karena saya pun mengalaminya. Saya belajar untuk tak terlalu berharap, dan saya belajar untuk memahami.
Sedang Demian justru mengambil jalan yang lain. Ia tetap memikul rasa sakitnya, dan mencari kasih sayang serta pengakuan dari gadis-gadis yang dikencaninya. Sadar atau tidak ia membalas dendam dan rasa sakit hatinya melalui perbuatannya.
Demian tumbuh menjadi pria yang sinis dan cenderung menarik diri dari orang-orang yang ia anggap sumber masalah baginya.
Ada kalanya saya membenci Demian, atas sikapnya terhadap Lucia. Saya gemas banget melihat eh membaca cara Demian memperlakukan Lucia. Sebagai anak bawaan dari Hilda, Lucia yang polos begitu memuja Demian sejak pertama, tanpa kenal lelah, walau ditolak dan dicuekin Demian berkali-kali :'(
Untunglah ada Alexandra yang menjadi penyeimbang yang membuat saya nggak jadi gila karena saking jengkelnya 😂😂. Cerdas, multitasking, berani dan cerewet setengah mati. Alexandra sangat menonjol dan sanggup menguasai keadaan, bahkan keadaan tersulit yang disebabkan Demian.
Setidaknya melalui sosok Alexandra dan Dewi dalam novel ini, saya merasa sudah terwakili untuk menyuarakan apa yang saya rasakan terhadap Demian.

Hubungan yang hangat justru dibagi Demian dengan kedua sahabatnya. Saya menyukai interaksi ketiganya, meski tetap saja satu-dua kali sisi egois Demian keluar. Namun bagi saya, bagian terbaik dari novel ini adalah interaksi yang terjadi antara para tokohnya. Terutama interaksi antara trio Demian-Rio-Dewi, dan interaksi antara Demian dan sekretaris pribadinya. Interaksi antara Demian dan Maura ini lucu dan gokil sehingga saya sempat merasa kalau mereka cocok 😂😂.

Konflik dalam novel ini ternyata nggak sesimpel kelihatannya. Bukan hanya perkara Demian harus menentukan sikap secara jantan untuk impian-impian yang berkelindan di benaknya, tapi juga ia harus mengurai masalah yang telah menumpuk bertahun-tahun. Bagaimana Demian harus berani menyingkirkan egonya dan berdamai dengan masa lalunya. Manusia punya beragam sifat, nggak semuanya hangat, menyenangkan dan mudah mengungkapkan perasaan. Ada insan-insan yang kesulitan untuk bersikap manis, meski jauh di dalam hatinya berlimpahan kasih sayang. Kadang, mungkin kitalah yang harus beradaptasi sedikit untuk menyentuh orang-orang seperti ini.

Sebenarnya ada banyak pesan yang bisa didapat dari Impian Demian, tapi saya memilih menggarisbawahi hubungan yang sulit antara Demian dan ayah serta ibu tirinya. Jika teman-teman unyureaders membaca novel ini, mungkin saja ada pesan lain yang akan teman-teman dapatkan. So, buat kalian yang demen cerita persahabatan & roman yang asyik, konyol dan nggak terlalu kental nuansa romantisnya, kamu harus banget baca novel ini.

Terus ikuti rangkaian blogtour Impian Demian ya, karena setelah postingan review ini saya akan membagikan sebuah cerita pendek versi saya 😉



Jumat, 10 November 2017

[Resensi: Telembuk - Kedung Darma Romansha] Menelusuri Jejak Pahit Kehidupan Sang Telembuk

Judul buku: Telembuk
Sub judul: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat
Penulis: Kedung Darma Romansha
Penyunting: Dian Dwi Anisa
Pemeriksa aksara: Maria Puspitasari
Cover: Nugroho Daru Cahyono
Penata letak: Azka Maula
Penerbit: Indie Book Corner
Tahun terbit: Mei 2017
Tebal buku: 414 halaman
ISBN: 978-602-3092-65-9



BLURB

Roman ini menunjukkan keseriusan menjelajahi secara kritis pengalaman penulisnya di tanah tumpah darahnya sendiri. Memeriksa timbunan pengetahuan lokal dan mengartikulasikannya dengan bahasa etnografis pengalaman keagamaan dan godaan seksualitas sebuah hiburan. Yang suci dan profan, yang sakral dan banal bercampur membentuk cerita yang memikat.
Muhidin M. Dahlan

Novel Kedung Darma Romansha ini bercerita tentang dunia prostitusi, panggung dangdut, pergaulan para pemabuk dan tukang kelahi. Adegan seks dan kata-kata kasar bertaburan. Namun uniknya, novel ini tidak terkesan vulgar. Mengapa demikian? Saya rasa hal itu terkait dengan nada penulisan dan posisi narator. Narator berada pada posisi netral: dia tidak memberi penilaian moral apapun, baik dalam arti menghakimi perilaku tertentu, maupun sebaliknya, yaitu merayakan atau membela perilaku yang berada di luar standar moralitas yang menjadi pegangan mayoritas orang Indonesia. Di samping itu, penulis menaruh perhatian pada detail-detail penggambaran suasana, juga bahasa dan gaya pergaulan lokal, yang terkesan cukup realistis dan berbasis pada riset lapangan. Dengan demikian, lingkungan dan perilaku manusia yang diceritakan sekadar hadir sebagai sesuatu yang memang eksis, dan menarik sekali-sekali dilirik, serta dimasuki lewat dunia khayal sebuah novel. Mau dihakimi, dinikmati, atau sekadar diamati, itu terserah pembaca.
Katrin Bandel, kritikus sastra


RESENSI

Aan merupakan remaja belia yang telah empat tahun meninggalkan desanya untuk mesantren di Jogja. Namun ia selalu pulang ke Imdramayu setiap libur caturwulan tiba untuk melepas rindu kepada suasana desa dan teman-teman masa kecilnya yang nakal. Jika liburan tiba, ia akan pergi bersama teman-temannya untuk menonton dangdut dan tarling. Saat itulah Aan melihat Diva Fiesta sang bintang dangdut. Perhatian Aan begitu tersedot pada gadis itu, ia merasa mengenali sosok yang goyangannya mampu membuat hati para lelaki berdesir itu. Merasa penasaran ia pun mngajak Govar dan Kriting untuk membuntuti Diva dan memastikan kecurigaannya.
Dari sinilah kisah ini kemudian bergulir, rahasia-rahasia Diva dan kaitannya dengan menghilangnya Safitri perlahan mulai terungkap. Perjalan hidup Diva, kisah pilu Safitri, cinta Govar yang lama terpendam, kenangan Aan akan gadis yang pernah dipujanya, Mukimin dan cintanya pada Safitri yang timbul tenggelam, perasaan-perasaan yang muncul di benak mereka masing-masing, semua berkelindan dan membentuk jalinan cerita yang kian kelam, kian suram.
Akankah rahasia besar itu terungkap, akankah ada kebahagiaan bagi orang-orang yang telah mencicipi getirnya hidup ini?

------------------------------------------

Didorong oleh rasa penasaran saya akan nasib Safitri yang raib di akhir Kelir Slindet, saya pun mengejarnya hingga ke novel Telembuk. Konon kabarnya, segala jawaban dan penyelesaian akan nasib Safitri ada di dalam buku ini. Saya pun kemudian berharap kegelisahan dan kekepoan saya bisa terpuaskan melalui Telembuk.
Bagi kalian yang masih blank tentang apa sih telembuk dan slindet itu, seperti pertanyaan yang dilontarkan beberapa kawan saya saat mereka tahu saya membaca novel ini, akan saya sampaikan secara singkat saja. Telembuk adalah istilah lokal untuk pekerja seks komersial, sedangkan slindet adalah telembuk yang masih belia, dengan kisaran usia belasan. Nah... nah... jangan dulu buru-buru mengerenyit atau menuding karena mungkin siapa tahu jalan hiduplah yang membuat mereka begitu, seperti yang terjadi pada Safitri....

"Tidak apa-apa, Diva. Biar kamu tahu, bahwa hidup kadang dipaksa untuk melakukan dosa." ~ Mak Dayem (hlm. 71)

Ini adalah babak baru dari kehidupan Safitri. Bagaimana ia berusaha bangkit setelah dituding dan dijatuhkan oleh asumsi dan opini masyarakat. Ia kabur dari desanya, saat usianya masih 15 tahun, karena tak tahan dengan gunjingan, tekanan dan cibiran, serta orang-orang yang meninggalkannya sendirian. Tak ada penopang, tak ada pengayom. Bahkan orang tuanya sendiri sibuk berkubang dalam rasa malu. Bisakah dibayangkan ke mana anak gadis seusia itu pergi sendirian tanpa tujuan?

Dengan mulut kalian, kalian bisa mengubah nasib seseorang jauh lebih buruk. Itulah mulut. Kalian boleh tertawa. Menertawakan diri sendiri. Karena kesenangan kalian belum tentu menjadi kesenangan orang lain. ~ Safitri (hlm. 193)

Walau tahun beranjak, walau rezim berganti, nasib masyarakat Cikedung nggak ada perubahan. Pola kehidupan mereka masih sama seperti sebelumnya. Anak-anak gadis yang dianggap tak perlu sekolah tinggi, pernikahan dini, gaya hidup kaum lelakinya yang mendorong kaum wanita untuk menjadi TKW ke luar negeri, dan kebanyakan rata-rata akhirnya berujung pada perceraian. Perceraian di usia muda inilah yang mendorong para wanita yang nggak punya bekal pendidikan atau keahlian akhirnya memilih menjadi telembuk. Terpola. Terus menerus seperti itu sehingga lama-lama profesi telembuk dianggap wajar.

Meskipun novel ini merupakan lanjutan dari novel Kelir Slindet, tapi pembaca nggak perlu khawatir jika belum pernah membaca Kelir Slindet, karena di awal kisah Telembuk, ada ringkasan kisah awal Safitri dan Mukimin seperti yang dikisahkan dalam Kelir Slindet. Bahkan di dalam Telembuk diungkapkan juga beberapa adegan yang ternyata disensor dalam Kelir Slindet.
Yang menarik dan sejujurnya lumayan bikin saya mengerutkan kening adalah gaya narasinya yang berbeda dengan Kelir Slindet. Dalam Telembuk saya dilempar dari satu narator ke narator lainnya. Rasanya persis seolah saya sedang menelusuri jejak Safitri dan mendengarkan cerita orang-orang yang kemungkinan mengerti bagaimana nasib Safitri. Baru saya sadari bahwa, ya, saya dibuat seolah sedang memburu kisah Safitri dari satu orang ke orang yang lainnya. Sehingga kisah Safitri yang saya dapat bukanlah sebuah dongeng belaka dari seseorang yang serba tahu, tapi dari orang-orang yang telah, sedang dan pernah berinteraksi dengan Safitri.
Walau tetap saja saya merasa "intermeso" bagaimana para tokoh tiba-tiba muncul dan menggugat sang narator sedikit menggelikan, karena saya jadi sedikit meragukan kebenaran fakta yang telah diungkapkan oleh narator. Narator dalam Telembuk ini di mata saya nggak lagi seperti narator-narator di novel lain yang bisa sangat terpercaya kebenarannya, tapi menjadi orang biasa yang jika saya dengarkan ceritanya, saya masih meragukan benar nggak sih ceritanya???? Kirik!

Namun walau cerita tentang Safitri membuat saya ragu, lain halnya dengan latar yang disajikan dalam novel ini. Kedung Darma Romansha masih memberikan nuansa kedaerahan yang kental, masih menunjukkan dengan gamblang latar sosial masyarakat Indramayu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kultur yang mengemuka dalam novel ini terasa kuat dan membuatnya tampak sangat nyata. Ya, sekali lagi saya yakin ini bukan dongeng.

Pasti kalian ingin tahu siapa yang menghamiliku. Kenapa kalian harus tahu? Sepenting itukah aku bagi kalian? Lalu ketika kalian tahu siapa yang menghamiliku, kalian akan merasa puas? (hlm. 192)

Eng...ing...eng... coba bagaimana rasanya disinisin oleh tokoh utama cerita yang sedang kalian baca? >.< 
Di titik inilah saya merasa mulai malu pada Safitri, saya merasa telah melanggar privasinya karena telah mengintip kehidupannya, menelanjangi kisah asmaranya, dan terus menduga-duga siapa yang menghamilinya. Lalu... apa bedanya saya dengan masyarakat yang dengan lidah mereka telah menghakimi Safitri?
Saya bukan siapa-siapa yang bisa masuk ke dalam cerita dan menuntut keadilan bagi Safitri, kan?

Membaca novel ini pada akhirnya bukanlah untuk menghakimi Safitri, Mukimin, Carta, Mang Alex, Mak Dayem, Govar, Sini, Saritem, Sondak atau siapa pun juga. Membaca novel ini adalah masuk ke kisah panjang perjalanan seorang telembuk yang dikemas Kedung Darma Romansha dengan begitu naturalnya. Masuk berarti memahami, masuk berarti menjadikan rahasia dan liku kehidupan Safitri sebagai bagian dalam ingatan saya. Pilihannya adalah, menyimpannya untuk diri sendiri atau menyebarkan cerita ini kepada orang lain. Nah, jadi apakah kalian ingin mendengarkan kisah ini? 😏



Minggu, 29 Oktober 2017

[Resensi] Kelir Slindet - Kedung Darma Romansha

Judul buku: Kelir Slindet
Penulis: Kedung Darma Romansha
Setter: Ayu Lestari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Maret 2014
Tebal buku: 256 halaman
ISBN: 9786020303567



BLURB

Kelir Slindet adalah sebuah potret kelam masyarakat desa yang terjebak dalam budaya dan mentalitas kemiskinan struktural: budaya dan mentalitas "pasangan Saritem dan Sukirman" yang telah melanggengkan kemiskinan, kejumudan, kemaksiatan, dan kemudaratan yang berkelindan dari generasi ke generasi. Keberhasilan Kedung Darma Romansha merekonstruksi "realita" kelam tersebut hanya bisa dicapai oleh penulis yang (pernah) menjadi bagian dari dan merasakan secara langsung ritme kehidupan mereka; di samping tentu saja yang memiliki kualitas emosional yang begitu terjaga dalam proses kreatifnya. Saya merasakan Romansha sebagai penulis muda yang sangat potensial dan dapat memberikan warnanya pada peta sastra Indonesia — Herry M. Saripudin Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan (P3K2) Asia Pasifik dan Afrika (Aspasaf), Kemlu, dan penikmat sastra.

Tidak banyak penulis novel sekaligus penyair, namun juga pemain teater yang tumbuh pasca generasi 80. Oleh karena itu, membaca karya Kedung Darma ini akan mendapatkan personalitas berceritanya yang tidak lepas dari latar belakangnya. Sebuah karya yang patut dibaca. — Garin Nugroho Sineas

Sebuah karya yang lahir dari perjalanan mata yang tidak hanya melihat. Rasa yang dalam, muncul dari tiap lembar kehidupan di sebuah kota kecil, yang penuh dengan kegetiran. Kita seolah dibawa ke sebuah dunia yang KITA sendiri, pembaca, yang mengalaminya. — Teuku Rifnu Wikana Aktor Film

Kedung Darma Romasha memang liar dan tengah menderita dendam. Dendam seorang santri pada tanah kelahirannya yang sangat ia cintai. Ia kerasukan, dan novel Kelir Slindet inilah yang menjadi saksinya. — Joni Ariadinata Sastrawan, Redaktur majalah sastra Horison dan ketua umum Jurnal Cerpen Indonesia

RESENSI

Safitri adalah gadis usia 14 tahun yang menjadi santri sekaligus artis kasidah pimpinan Musthafa di mushola milik Haji Nasir. Setiap kali Safitri berlatih kasidah, Mukimin, anak bungsu Haji Nasir, tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengintip dari jendela samping mushola. Mukimin tergila-gila pada Safitri, teman sebayanya itu. Mukimin sendiri adalah pemuda urakan yang lebih sering bolos dan iseng luar biasa, tapi selalu saja jadi tolol kalau sudah berhadapan dengan Safitri.
Tak disangka, rupanya Safitri pun menyukai Mukimin. Mereka sering terlihat duduk berdua di dekat sungai walau tetap saja Mukimin kesulitan menyatakan cinta. Hingga Musthafa yang rupanya juga menaruh hati pada Safitri datang melamar Safitri. Takut kalah dari kakaknya, Mukimin pun akhirnya menyatakan cinta.
Sayang perjalanan kasih mereka harus terbentur status sosial. Ayah Mukimin melarang mereka berpacaran karena Safitri adalah anak seorang telembuk, seorang PSK. Ibu Safitri pun nguntap dan melabrak Haji Nasir. Sejak itu mereka dilarang bertemu. Hubungan mereka terputus. Safitri pun mengurung diri di kamarnya, dan Mukimin kabur entah ke mana.
Hingga suatu hari, Cikedung dikagetkan aksi Safitri yang naik ke panggung dan berjoget dangdut dengan hebohnya. Banyak yang menganggap Safitri stres lantaran ditolak Haji Nasir. Banyak yang mengatakan buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi Safitri tak menggubris, ia makin gila-gilaan di atas panggung tarling dan dangdut.
Beberapa ustad datang untuk melamarnya, untuk membawanya kembali ke jalan yang benar, tapi Safitri menolak. Namun rupanya gadis itu menyimpan satu rahasia. Alasan mengapa ia berubah. Sesuatu yang kemudian membuat Cikedung gempar.

-------------------------------

Apa salahnya menjadi anak telembuk?
Apa salahnya jika anak telembuk jatuh cinta pada anak seorang kaji, yang sekaligus juga seorang kuwu?
Atau sebaliknya, apakah salah jika anak seorang kaji jatuh cinta pada anak telembuk?


Pertanyaan ini terus bergelung di benak saya sejak mulai membaca novel Kelir Slindet hingga menutup lembar terakhirnya. Banyak kerisauan dan penyesalan yang saya rasakan selama membaca novel ini. Beneran. Saya marah. Saya kesal. Saya sedih dan menyesal untuk Safitri. Betapa kejamnya masyarakat menjatuhkan vonis kepada seseorang, terutama jika seseorang itu adalah perempuan. Betapa orang-orang selalu berasumsi sendiri dan memandang hanya dari satu sisi; sisi yang berupa kepentingannya sendiri. Kan kirik.

Dalam novel ini, Safitri dan Mukimin adalah remaja usia 14 tahun yang tinggal di Cikedung, salah satu daerah di Indramayu. Peristiwa yang mereka alami terjadi di tahun 1997. Penggambaran settingnya benar-benar mendetail, bukan hanya dari yang tampak di mata, tapi juga yang berkaitan dengan indera pendengaran, penciuman dan yang terasa di pori-pori kulit. Narasi deskripsinya terasa sangat nyata. Bisa dibilang lokalitas dalam novel ini begitu kuat.

Saya sempat iri dengan Safitri dan Mukimin ketika mereka menjalin kasih hanya dengan duduk diam bersisian di tepi parit, dekat sebuah sungai dan persawahan. Mukimin yang urakan itu bisa juga jadi tolol di hadapan gadis pujaannya. Sementara Safitri yang lugu, malu-malu tapi dalam hatinya geregetan juga terhadap ketololan Mukimin. Sepasang muda-mudi yang cintanya harus terhalang status sosial.

Malang nian jadi Safitri dalam Kelir Slindet ini. Safitri terlahir dari rahim seorang telembuk, dan memiliki ayah yang pemabuk, penjudi juga doyan telembuk. Orang-orang dengan mudah melabelinya sebagai "anak telembuk"... nggak ada yang menyebutnya sebagai penyanyi khasidah padahal dialah vokalis utamanya.  Seolah nilai-nilai kebaikan nggak ada harganya di mata orang-orang. Semua orang lebih suka melihat sisi buruk seseorang dan menyebarkannya. Entah dengan tujuan apa, mungkin rasa iri, mungkin agar dirinya sendiri terlihat lebih baik, atau bisa juga karena kebodohan sehingga menelan semuanya mentah-mentah. Dari sini saya menganggap, Kedung Darma Romansha memotret dengan baik isu sosial yang sungguh benar adanya.
Ada orang sukses dianggap memakai pesugihan, ada orang cantik dan jadi idola diisukan memiliki susuk, ada satu keributan lantas beredar gosip yang macam-macam versinya. Capek nggak sih hidup di tengah masyarakat yang seperti itu wkwkwkk~

Tapi itulah Cikedung dalam novel ini, itulah yang harus dihadapi Safitri dan Mukimin.


Di antara semua tokoh yang sebenarnya sulit bagi saya untuk mencerna siapa saja mereka—karena sungguh banyak banget tokoh yang bermunculan dan saling berkaitan tapi saya susah mengingatnya—tokoh yang paling saya benci adalah Saritem. Ibu Safitri. Sebagai mantan telembuk wajar jika ia menginginkan kehidupan yang lebih bahagia bagi anaknya. Wajar jika ia berharap Safitri berjodoh dengan salah satu putra Haji Nasir. Tapi ketika harapan itu gagal, ketika Haji Nasir menolak Safitri karena Safitri adalah anak telembuk, bukannya sadar ia malah terus marah-marah dan menimpakan semuanya pada Safitri. Kenapa Safitri yang dimaki anak sial, anak tak tau diuntung, kenapa bukan pada dirinya sendiri ia memaki. Sekali lagi, sungguh sial banget jadi Safitri. Bukannya didukung ibunya sendiri saat seluruh masyarakat mencelanya, tapi si ibu malah sibuk sendiri karena merasa dipermalukan.
Maka jauh di dalam hati saya bersorak saat Safitri nekat. Saat Safitri akhirnya memilih jalannya. Menentukan apa yang diinginkannya. Walau perih dan memilukan. Sosok Safitri yang baru, yang terlahir dari nyinyiran mulut orang-orang usil, jika ia berdosa maka berdosalah juga orang-orang sok suci yang nggak berbuat apa-apa dan malah menyiramkan minyak ke dalam api.


Membaca Kelir Slindet ini terasa banget ada bagian-bagian yang hilang. Bagian-bagian misterius yang kemudian menimbulkan pertanyaan. Terutama siapa pelaku yang menghamili Safitri. Tentunya untuk menjawab segala pertanyaan itu, saya harus membaca Telembuk: Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat, yang konon merupakan novel lanjutan yang akan memberi pencerahan 😉

Jumat, 20 Oktober 2017

[Resensi] Si Bengis Mr. Danvers - Vivienne Lorret | Kala Si Bengis Luluh Menjadi Manis

Judul buku: Si Bengis Mr. Danvers
Judul asli: The Devilish Mr. Danvers
Serial: The Rakes of Fallow Hall #2
Penulis: Vivienne Lorret
Alih Bahasa: Debbie Hendrawan
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: Juni 2017
Tebal buku: 336 halaman
ISBN: 9786020427768



BLURB

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hedley Sinclair dapat menentukan masa depannya sendiri. Dia mewarisi Greyson Park yang bobrok tapi kehancuran bangunan itu tidak menghalanginya. Tak akan ada yang mengurungnya lagi atau mencoba untuk mengambil benda miliknya. Tidak seorang pun kecuali Rafe Danvers—pria menawan dan seperti iblis dari Fallow Hall. Pria itu bertekad untuk menuntut Greyson Park, namun jika Hedley tidak berhati-hati, pria itu juga akan menuntut hatinya. 

Rafe sepenuhnya berniat untuk membebaskan Greyson Park dari cengkeraman tangan keluarga Sinclair untuk selamanya. Hal terakhir yang dia harapkan adalah bertemu dengan Hedley yang memperdaya—adik dari mantan tunangannya—menghalangi niatnya. Dengan tuntutan drastis, dia berencana untuk membuat gadis itu menikah agar bisa memegang kendali atas rumah itu. Satu-satunya masalah adalah, dia sepertinya tidak bisa berhenti untuk menggoda gadis itu. Bahkan yang lebih buruk lagi, dia mulai jatuh cinta….


RESENSI

Rasanya sudah cukup lama saya nggak membaca novel sampai berurai air mata lebih dari sekali. Iya sih saya gampang terenyuh, gampang mewek saat membaca adegan yang kena di hati, tapi saya nggak menyangka novel historical romance yang asal comot di Scoop ini bisa bikin saya termehek-mehek. Seorang teman penulis memang pernah bilang kalau novel ini bagusnya kebangetan, jadi saya selain karena tertarik dengan sinopsisnya akhirnya merasa penasaran juga untuk melahapnya.

Bisa dibilang ini adalah pengalaman pertama saya mencicipi karya Vivienne Lorret. Tadinya saya hanya berniat mengintip dulu pembuka ceritanya, tapi ternyata saya langsung dibuat terhanyut hingga sampai akhir kisah. Bagaimana tidak... sedari awal saya sudah dipertemukan dengan heroine yang menderita lahir dan batin karena telah dikurung bertahun-tahun di loteng oleh keluarganya, disembunyikan karena dianggap sebagai aib dan dengan tabah menerima perlakuan kejam ibu dan kakak perempuannya. Hmm... mungkin terdengar sedikit mirip cinderella ya? Tapi nggak kok, nggak ada pangeran tampan dan pesta dansa di kisah ini.
Justru sang hero adalah mantan tunangan kakaknya yang ditinggalkan begitu saja di altar. Bukan seorang pangeran tapi seorang seniman yang keluarganya juga dikucilkan oleh kalangan ton beberapa tahun terakhir.
Jadi mereka sama-sama orang tangguh yang dengan tegak menghadapi tuduhan sosial yang diarahkan pada mereka masing-masing.

Adegan pertemuan keduanya sungguh luar biasa bagi saya. Bagaimana Hedley Sinclair masih mengingat dengan jelas siapa pria di depannya, membawa ingatannya pada kenangan indah yang pernah diberikan Rafe Danvers, meski Rafe tak menyadarinya. Ya. Rafe nggak menyadari siapa Hedley pada awalnya.
Pertentangan batin Rafe merupakan hal yang paling menarik bagi saya. Sedari awal ia telah dibuat bingung antara harus memilih nalar atau perasaannya. Kebenciannya pada keluarga Sinclair toh tetap luruh karena kepolosan Hedley. Beberapa kali ia berusaha kembali pada kecurigaan, walau pada akhirnya ia menyerah dan mengakui Hedley tidaklah sama dengan kakaknya.

Apalah arti sebuah historical romance tanpa kebajinganan (wait... diksi apa ini? 😂). Well, maksud saya, semakin bajingan si tokoh pria, saya biasanya semakin suka. Jadi ketika Rafe punya rencana yang sedikit busuk saya bersorak dalam hati. Rafe ingin menang dalam taruhannya dan ia ingin menyingkirkan Hedley dari propertinya, maka ia membuat rencana perjodohan untuk Hedley. Daaan.... bisa ditebak dong, kalau rencana itu bakal jadi senjata makan tuan. Semua orang bisa menebak kok, termasuk saya, kecuali Rafe sendiri, bahwa dia bakalan kebakaran pantat karena cemburu melihat intimnya Hedley dan Montwood.
Oh iya, selain chemistry Hedley dan Rafe yang penuh percikan-percikan gairah, asmara, hasrat, dan apalah-apalah yang sejenisnya, chemistry Hedley dan Montwood juga terasa pas deh. Saya menangkap mereka berdua seolah memiliki frekuensi kesenduan dan kekelaman yang sama.

Bicara tentang karakter, saya langsung jatuh cinta pada Hedley. Gadis ini bukan tipe gadis keras kepala yang menyebalkan, juga bukan gadis yang malu-malu tapi nemplok juga. Hedley cerdik, pengamat yang jeli, jujur, polos dan dia tahu apa yang dia mau. Hedley nggak malu-malu untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya serta apa yang diinginkannya. Mungkin dia sagitarius sama kayak saya #halaaah
Rafe juga nggak menyebalkan banget. Yang pasti dia penyayang dan sweet dengan caranya sendiri. Bikin saya meleleh dengan tindakan-tindakan spontannya terhadap Hedley, dan bikin saya pengen getok kepalanya tiap kali mulai membentengi diri dan kekeuh kembali ke rencana semula.

Banyaaaak banget adegan super manis di novel ini. Salah satunya yang paling saya suka adalah ketika Calliope, yang baru saja bertemu dan berkenalan dengan Hedley, membela Hedley yang disakiti kakaknya. Aih... aih... ini adegan yang bikin saya mbrebes mili karena akhirnya Hedley merasakan apa artinya memiliki 'keluarga' walau itu terwujud dari seorang teman yang tetap berdiri mendukungnya.
Saya juga suka bagaimana Rafe membantu Hedley mengatasi trauma dan ketakutannya terhadap kuda dan kereta kuda. Bagaimana Rafe selalu ada di sana saat Hedley berada dalam situasi paling rapuh.

Sayangnya ending novel ini terasa terlalu cepat diselesaikan. Padahal mengikuti naik turunnya konflik antara Hedley-Rafe dan terutama Hedley-Ursa, saya pengin sesuatu yang lebih memuaskan hati. Setidaknya misalnya Ursa ketimpa reruntuhan Greyson Park atau apalah. Oke... um.. itu sadis sih, tapi setidaknya saya ingin sesuatu pembalasan yang setimpal bagi Ursa dong. Wkwkwk~~
Well, secara keseluruhan novel ini bikin saya puas bacanya. Sukaaakkk banget nget. Buat kalian yang suka novel dengan tema-tema semacam kita-musuh-tapi-saling-tergila-gila-tapi-itu-nggak-mungkin-tapi-aku-nggak-mau-kehilangan-tapi-ya-gimana-dong, saya rasa novel ini akan cocok buat kalian.

Rabu, 11 Oktober 2017

[Resensi] Kabut di Bulan Madu - Zainul DK

Judul buku: Kabut di Bulan Madu
Penulis: Zainul DK
Penyunting: Nisaul Lauziah Safitri & Zainul DK
Pendesain Sampul: Hanung Norenza Putra
Penerbit: Ellunar Publisher
Tahun terbit: Agustus 2016
Tebal buku: 249 halaman
ISBN: 978-602-0805-73-3



BLURB

Tersangka kasus penembakan di sebuah kafe yang menewaskan seorang preman adalah Roby. Ia melakukan penembakan itu karena tak terima kekasihnya, Linda, diganggu. Ia pun berhasil ditangkap oleh Inspektur Ariel untuk menjalani hukuman penjara. Tidak sanggup melihat sang kekasih bersedih mengetahui dirinya dijebloskan ke penjara, Roby menyuruh Linda untuk berlibur menaiki kapal pesiar mewah.

Di sisi lain, ada pasangan yang baru menikah hendak berbulan madu : seorang penyiar berita bahasa Jepang, Helena Lizzana, dan pria keturunan Jepang-Timur Tengah, Ihdina Shirota. Mereka berencana menikmati momen indah itu dengan naik kapal pesiar.

Pasangan muda tersebut berada dalam satu kapal pesiar yang sama dengan Linda. Tak disangka terjadi musibah : kapal pesiar itu menabrak karang dan karam. Dari hasil evakuasi, dinyatakan bahwa hanya ada satu korban jiwa meninggal, yaitu LINDA!

Memperoleh berita nahas ini, Roby tentu saja tidak terima. Menurutnya, ada keanehan yang menyebabkan kekasihnya saja yang menjadi korban. Ia percaya seseorang sengaja membunuh Linda. Ia pun menyusun rencana untuk kabur dari penjara, dan mencari tahu siapa pembunuh sang kekasih. Inspektur Ariel mesti mati-matian mencegahnya!


RESENSI

Awalnya saya tertarik dengan novel ini karena judulnya yang serasa jadul-jadul gimanaaa gitu. Jelas saja, di tengah maraknya judul novel yang menggunakan frase atau kata yang berenglish-english ria, judul novel ini yang Indonesia banget tentunya menarik minat saya. Harus diakui kan, novel-novel pop masa kini tentunya lebih memilih menggunakan kata honeymoon dibanding bulan madu sebagai judul. Mungkin agar lebih terdengar manis, atau biar terkesan romantis, padahal ya sama aja *putar bola mata* Ini bukan nyinyir tapi yaa... wkwkwk~~
Yaaa pokoknya gitu deh, saya tertarik karena judul dalam bahasa Indonesianya.

Selain itu penulisnya sendiri menjanjikan bahwa novel ini bukan novel roman biasa. Bukan cuma mehek-mehek cintrong-cintrongan, tapi juga berbalut thriller. Wah...Wah... Serius?? Saya yang di kala itu sedang dalam titik jenuh membaca novel roman akhirnya mengiyakan dengan harapan mood baca saya membaik.
Then... benarkah sesuai harapan? Mari saya tumpahkan. *tarik nafas panjang*

Saya mengawali membaca Kabut di Bulan Madu ini beberapa pekan yang lalu, dengan harapan yang cukup tinggi. Sayangnya baru beberapa bab saya baca, putra sulung saya mengalami musibah kecelakaan kecil, begitu urusan jahitan dan drama kaki benyek selesai, giliran putra bungsu saya yang sakit. Satu sembuh, yang satu nyusul sakit... begitu terus hampir selama satu bulan lebih. Capek jiwa raga membuat saya menyingkirkan dulu novel ini. Setelah penyakit jauh-jauh, eladalah sekolah kok ya udah masuk masa PTS, jadilah dua pekan saya pontang-panting memanage jadwal ngajar yang penuh sesak, dan lagi-lagi saya pasrah nggak bisa menyentuh bacaan.
Tapi alhamdulillah yaa... walau berjeda lumayan lama, kok ya saya masih ingat jalinan cerita pembuka novel Kabut di Bulan Madu. Bisa jadi ini karena premisnya lumayan sedap bagi saya, walau tetap saja terasa kurang matang. Kayak telur setengah matang yang berenang di ind*mie kuah begitulah.

Novel ini menggunakan latar fiktif yakni sebuah kota bernama Jeyakarta, yang tetap saja gambaran serta nuansanya terasa persis dengan ibukota negara Indonesia. Namun tentunya ada yang menjadi pembeda dong, alkisah diceritakan dalam novel ini bahwa salah satu stasiun televisi di kota tersebut memiliki program acara berita berbahasa Jepang. Wow keren yak. Entah apa alasannya stasiun televisi ini kok dirasa perlu membuat tayangan news berbahasa Jepang, saya nggak mendapat kejelasan juga. Namun rupa-rupanya program acara ini konon sangat populer karena ternyata orang-orang banyak yang mengenali sang penyiar beritanya, di manapun ia berada. Dari supir taksi hingga mbak-mbak pegawai kapal pesiar semua bisa mengenali. Mungkin bisa dibilang sepopuler Najwa Shihab gitu kalik ya. Yang jelas sepanjang cerita saya perlu berkali-kali dijelaskan kalau Helena ini adalah jurnalis. Ya mungkin saja jaga-jaga siapa tahu ditengah cerita saya amnesia. Yha.



Saya lumayan terusik dengan gaya narasi dalam novel ini. Saya mengamati bahwa verbanya ditulis tanpa imbuhan dan hampir nggak ada bedanya dengan dialog yang diucapkan para tokoh. Saya memang lebih menyukai narasi yang dipaparkan dalam bahasa baku, tapi saya juga oke oke saja dengan narasi yang kasual asalkan kalimatnya jelas susunannya, jelas mana induk kalimat dan anak kalimatnya.

Sang komandan berinisiatif interogasi wanita yang diketahui bernama Linda, pacar pelaku, di tengah ruang tamu. (hlm. 9)

Pada kalimat tersebut, jelas kita tahu kata "interogasi" merupakan sebuah nomina, untuk membentuknya menjadi verba tentunya diperlukan sebuah afiks. Bukankah "menginterogasi wanita" terdengar lebih tepat sebagai sebuah kalimat? Banyak sekali kalimat dengan kata tanpa prefiks semacam ini yang saya temui, membuat penyampaian plot dan aksinya terasa kurang nyaman untuk dibaca. Bisa dibilang saya serasa sedang membaca sinetweet yang biasa menyunat afiks karena keterbatasan karakter.

Pengkarakterannya sendiri masih mengambang. Tokoh-tokohnya masih memiliki "suara" yang sama dengan gestur yang masih mirip satu sama lain. Mestinya satu-dua tokoh saja yang konyol atau yang suka bercanda garing. Satu-dua tokoh saja yang bakat menggombalnya masih versi jadul. Satu-dua tokoh saja yang narsisnya nggak ketulungan. Satu tokoh saja yang gemar bikin puisi melow. Sehingga pengkarakterannya bisa unik berciri khas masing-masing, stabil juga konsisten hingga akhir cerita.

Dialog dalam novel ini masih kurang hidup karena gaya bicara tiap tokohnya masih seragam. Shirota memang menggunakan bahasa campur aduk Indonesia, Jepang dan Arab demikian juga dengan Helena yang sering pamer bahasa Jepang entah yang diajak bicara paham atau enggak, tapi toh gaya suaranya tetap sama. Terlebih penggunaan kata-kata indah dan puitis dalam dialog yang mereka ucapkan juga seolah salah tempat. Hal ini juga pastinya mempegaruhi chemistry antar tokohnya yang terasa hambar, meski saya berusaha diyakinkan setengah mati melalui narasi bahwa mereka pasangan romantis.
Ini dikarenakan gaya narasi aksinya yang lebih menekankan tell yang terasa hiperbolis. Ratusan kali saya dicekoki bahwa pasangan-pasangan ini romantis. Seolah tindakan saja belum cukup, penulis sepertinya merasa masih perlu menambahkan kata romantis di setiap penjelasan aksinya.

Alur ceritanya sendiri mulai lambat dan cukup membosankan di tengah cerita. Tindakan Helena diceritakan terlalu detail padahal akan lebih baik jika pembaca dibuat penasaran dan bertanya-tanya, cukup berikan saja satu dua informasi sekadarnya. Beberapa dialog antara Roby dan pengacaranya, juga dialog antara Helena dan Shirota terasa bertele-tele dan berputar-putar. Terasa dipanjang-panjangkan dan basi. Justru detail yang berkaitan dengan hukum yang mestinya bisa menumbuhkan minat pembaca atau menambah misteri malah diskip dengan narasi.
Namun menuju ke akhir, kisah ini mulai enak dinikmati ketegangannya. Cukup seru lah.

Bisa dibilang lebih banyak kekonyolan yang ditampilkan oleh novel ini. Ketegangan aksi dan thrillernya hanya secuil. Sangat disayangkan padahal menurut saya ide ceritanya sangat menarik dan akan menegangkan jika dieksekusi dengan lebih baik. Well.... akhir kata, membaca novel ini merupakan sebuah pengalaman yang bikin saya cengar-cengir geje karena menghadirkan twist yang unpredictable di endingnya. Wkwkwkk~~
 

Nurina mengeja kata Published @ 2014 by Ipietoon